Minggu, 24 April 2016

Masih Ragu dengan Asuransi Syariah?




Sebagai warga Kota Bogor yang sering mengalami hujan tiba-tiba, saya jadi terbiasa (awalnya terpaksa) membawa payung ke mana-mana. Bahkan di hari cerah sekalipun. Rasanya ada yang belum lengkap dibawa jika payung belum dimasukkan ke dalam tas.
Asuransi mirip dengan payung. Sangat bermanfaat saat hujan lebat. Tapi tetap saja masih banyak orang malas membawa payung atau jas hujan saat pergi keluar rumah. Bukankah dari dulu sudah ada pepatah bijak yang berbunyi: “Sedia payung sebelum hujan.”
Jikalau begitu, lalu kenapa masih banyak anggota masyarakat yang berat berasuransi? Padahal sejatinya asuransi adalah perlindungan diri. Aneh rasanya jika seseorang tidak bersedia menjaga keselamatan dirinya sendiri.

Warga Negara Indonesia mayoritas muslim, tetapi masih belum tertarik atau bahkan belum tahu dengan  asuransi syari’ah. Adapula yang masih ragu tentang kesyari’ahannya asuransi syariah atau beranggapan asuransi syari’ah sama saja dengan asuransi kovensional, hanya nama saja yang dirubah tetapi sistem asuransinya sama dengan konvensional.
Disini saya akan sedikit menghilangkan keragu- raguan terkait asuransi syari’ah dari segi hukum asuransi syari’ah dalam perspektif Islam. Semoga dapat menghilangkan keraguan anda dan segera mendaftarkan diri sebagai peserta asuransi syari’ah.
      Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong-menolong atau saling membantu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta.
Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وتعاونوا على البر والتقوى ولاتعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله  إن الله شد يد العقاب
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2.
Para ahli hukum Islam kontemporer menyadari sepenuhnya, bahwa status hukum asuransi syariah belum pernah ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam dahulu (fuqaha). Pemikiran asuransi syariah seperti berlaku sekarang ini, merupakan hasil pergumulan antara pemahaman hukum syariat dengan realitas yang terjadi.
Namun apabila di cermati melalui kajian secara mendalam, maka ditemukan bahwa pada asuransi terdapat maslahat sehingga para ahli hukum Islam (kontemporer) mengadopsi manajemen asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam konteks ini asuransi dibolehkan walaupun ada perbedaan pendapat timbul dalam sebagian cara merealisasikan prinsip tersebut.
Beberapa pendapat para ulama mengenai hukum asuransi ditinjau dari fiqh Islam yang paling mengemuka, perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.    Pendapat pertama: Mengharamkan
“Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa”. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad bakhil al-muth’i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.       Asuransi sama dengan judi;
b.       Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c.        Asuransi mengandung unsur–unsur riba/renten;
d.      Asuransi mengandung unsur-unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.
e.       Premi-premi yang sudah dibayar akan diputus dalam praktik-praktik riba.
f.       Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
g.      Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh pendapat yang pertama ini yang mengharamkan asuransi, penulis setuju atas dasar asuransi seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dimana praktiknya hanya menguntungkan satu belah pihak saja atau bersifat untung-untungan yang kita tahu tidak dibenarkan dalam Islam.
2.    Pendapat kedua : Membolehkan
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar hukum Islam pada Universitas Kairo Mesir, dan Abd. Rahman Isa pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkamuha. Mereka beralasan:
a.       Tidak ada Nash (Al-Quran dan Sunnah) yang melarang asuransi
b.       Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
c.       Saling menguntungkan kedua belah pihak
d.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan
e.       Asuransi termasuk akad, madharabah (bagi hasil)
f.        Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah)
g.      Asuransi dianalogikan (Qiyaskan) dengan sistem persiun seperti taspen”
Untuk pendapat kedua ini penulis cenderung lebih membenarkan hal demikian, karena apabila  dicermati lebih lanjut asuransi seperti ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, dimana tidak merugikan satu sama lain. Hal ini dapat membangun perekonomian ummat, seperti yang dijalankan di asuransi syari’ah pada umumnya.
3.    Pendapatan ketiga : Asuransi Sosial Boleh dan Komersial Haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abzu Zahra (guru besar hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok-kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (Haram) dan sama pula dengan alas an kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh)”
Walaupun sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang Qadha dan Qadar atau bertentangan dengan takdir. Padahal sesungguhnya tidak demikian, karena pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian merupakan takdir Allah yang tidak dapat di tolak. Hanya saja sebagai manusia diperintahkan membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Seperti firman Allah dalam Surat Al-Hasyr, ayat 18 :
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله ولتنظرنفس ماقد مت لغد واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. AL-Hasyr:18).
Jelas sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan. Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal untuk kepentingan dimasa akan datang agar segala sesuatu yang benilai negatif, baik dalam bentuk musibah kecelakaan, kebakaran ataupun kematian. Dapat di minimalisir kerugiannya, karena kemampuan manusia hanya sebatas memprediksi dan merencanakan sesuatu yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang di rasa akan memberikan kerugian dimasa akan datang, sedangkan Allah menentukannya.
Hal serupa terhadap konsep asuransi juga telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama tujuh tahun Negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan kemudian diikuti masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya.
Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Mesir mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada tujuh tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa tujuh tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko bencana kelaparan.
Hasan Ali menyebutkan kaitan hal ini dengan Firman Allah SWT dalam Qs. Yusuf, ayat : 46 – 49
يوسف أيها الصديق أفتنافى سبع بقرات سمان يأكلهن سبع عجاف وسبع سنبلت خضروأخريا بست لعلى أرجع ألى الناس لعلهم يعلمون ﴿٤٦﴾ قال تزرعون سبع سنين دأبا فما حصدتم فذروه فى سنبله إلا قليلا مما تأكلون ﴿٤٧﴾ ثم يأتى من بعد ذالك سبع شداد يأكلن ما قدمتم لهن إلا قليلا مما تحصنون ﴿٤٨﴾ ثم يأتى من بعد ذالك عام فيه يغاث الناس وفيه يعصرون ﴿٤۹
Artinya : “Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru: “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, teranglah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”. Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”. (Qs. Yusuf :46 – 49).
Ayat ini juga memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini (modern) yang secara ekonomi dituntut agar mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT menunjukkan dalil dan bukti yang nyata kepada manusia bahwa praktik asuransi atau bisnis pertanggungan telah berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia. Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan Al-Qur’an atau Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Begitu dalam sumber hukum Islam yang kedua yaitu Al-hadist, ada juga menerangkan tentang anjuran untuk menghindari resiko, salah satunya adalah :

عن أنس بن مالك رضى الله عنهما قال : قال رجل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أعقلها أوأتو كل؟ قال : أعقلها وتوكل (رواه التر مذى)


Dr. Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW, tentang (untanya) : “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada Alla SWT?”. Bersabda Rasululla SAW: “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakal kepada Allah SWT.” (HR. At-tarmudzi)”.
Dalam Hadits ini pun Rasulullah SAW memberi tuntunan pada manusia agar selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah yang akan terjadi, bukannya langsung menyerahkan segala kepada Allah, tetapi harus ada usaha untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam perspektif Al-Qur’an kebutuhan manusia ditentukan oleh konsep maslahah, dimana konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka tujuan syariah Islam yaitu: Tercapainya kesejahteraan umat manusia. Begitu pula halnya barang dan jasa Asuransi syariah yang memberikan maslahah disebut kebutuhan manusia.
Menurut khallaf, bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya. Kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri atas beberapa hal yang bersifat kebutuhan pokok (dharuriyyah), kebutuhan (hajiyyah), dan penyempurna (Tahsiniyah).
Dalam hal ini keberadaan Asuransi Syariah dapat dikatakan sebagai kebutuhan hajiyyah. Kebutuhan hajiyyah yaitu suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan kehidupan.

Sumber:
By: Fadilah Arhan

0 komentar: