Jumat, 29 April 2016

Manfaat dan Tujuan Berdirinya Asuransi Syariah

Banyak dari kalangan masyarakat yang masih ragu ataupun belum tahu banyak tentang manfaat Asuransi Syariah dan tujun Asuransi Syariah. Disini saya akan menjelaskan sedikit tentang hal ini.

Manfaat Asuransi
Asuransi yang dikenal di Indonesia antara lain asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Asuransi kerugian adalah asuransi yang melindungi harta benda misalnya rumah beserta isinya, apartemen, mobil dan lain-lain.


Asuransi mobil ditujukan untuk melindungi dari berbagai ancaman bahaya yang tidak terduga misalnya tabrakan, pencurian beberapa bagian mobil atau bahkan mobil itu sendiri yang dicuri. Dengan melindungi mobil dengan asuransi, kita dapat mengendarai mobil dengan rasa tenang dan aman ke manapun bepergian.

Manfaat asuransi kendaraan yaitu, menempatkan posisi keuangan Tertanggung (Pelanggan) kembali kepada saat sebelum terjadi kerugian. Namun selain itu, asuransi juga dapat mengurangi ketidakpastian risiko, dapat mengurangi beban keuangan akibat timbulnya kerugian yang datang secara tiba-tiba, memberikan ketenangan dalam bekerja dan banyak manfaat lainnya. Manfaat asuransi dari kendaraan bermotor adalah melindungi dari berbagai ancaman bahaya yang tidak terduga.

Tujuan berdirinya Asuransi Syariah

Tolong-menolong dan bekerja sama, kekayaan yang dimiliki sebagai karunia Allah Swt hendaknya berfungsi social, terutama membebaskan orang dari penderitaan dan ketergantungan. Saling tolong dan bekerja sama merupakan salah satu sifat terpuji dan sangat dianjurkan oleh Swt.

Saling menjaga keselamatan dan keamanan, kehendak untuk selamat dan aman dalam hidup merupakan naluri kemanusiaan. Ajaran islam menganjurkan agar manusia berupaya menjadikan dunia bebas dari bahaya ketakutan. Niat ikhlas karena Allah untuk membantu sesama yang mengalami penderitaan merupakan landasan awal asuransi islam. Premi yang dibayarkan kepada asuransi syariah harus didasarkan pada kerjasama dan tolong-menolong sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh ridha-Nya.

Saling bertanggung jawab, islam mengajarkan manusia agar menghilangkan sikap mementingkan diri sendiri. Rasa tannggung jawab merupakan factor yang mempererat rasa persatuan dan persaudaraan sesame manusia.

Menjadi grup asuransi terkemuka yang menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang komprehensif dengan jangkauan signifikan di seluruh Indonesia menjelang tahun 2011.
Bertekad memberikan solusi dan pelayanan terbaik dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan risiko bagi umat dengan menawarkan jasa Takaful dan keuangan syariah yang dikelola secara profesional, adil, tulus dan amanah.

Adapun tujuan dari Asuransi itu sendiri yaitu

Tujuan asuransi yang utama adalah semata-mata untuk menjaga-jaga kalau  terjadinya kerugian karena peristiwa itu. Apa yang diperoleh tertanggung dalam terjadinya kerugian atas dirinya itu, tidak dapat dipandang sebagai keuntungan bagaimana pun dalam hukum asuransi, pihak tertanggung tidak diperkenankan memperoleh kekayaan melebihi dari apa yang dipunyai sebelum terjadinya kerugian.

Adapun tujuan asuransi lainya adalah sebagai berikut :
    Untuk mengalih resiko yang semula ada pada pihak pemilik kepada pihak asuransi yang bersedia menerima resiko tersebut, dengan resiko dimaksud suatu kemungkinan tertimpa suatu kerugian.  
·    Untuk memberi ganti kerugian kepada pihak yang bersangkutan dan mendapatkan keuntungan di samping melakukan beberapa jaminan terhadap para pesertanya. 
     
     Dalam kitab KUHP pasal 264 juga disebutkan bahwa, tujuan asuransi adalah untuk mencegah setidak-tidaknya menguragi resiko kerugian yang mungkin timbul karena hilang, rusak atau musnahnya barang yang dipertanggungkan dari suatu kejadian yang tidak pasti.

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa tujuan asuransi adalah untuk menjaga jangan sampai suatu usaha menderita kerugian dan untuk member ganti rugi kepada pihak yang bersangkutan.

a).  Tujuan Pertanggungan Asuransi Kendaraan Bermotor
 Setiap orang yang memiliki kendaraan bermotor baik roda dua atau lebih pasti menghadapi suatu resiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik karena hilangnya atau cacat dan rusak kendaraan-kendaraan bermotor atau sebab-sebab yang lain. Resiko adalah kewajiban menanggung atau memikul kerugian sebagai akibat dari suatu peristiwa di luar kesalahannya, yang menimpa kendaraan bermotor menjadi miliknya. Besarnya resiko tersebut dapat diukur dengan nilai kendaraan yang terkena bahaya dan hal ini tentu saja merugikan pemiliknya. Maka makin besar kendaraan bermotor yang dimiliki seseorang makin besar pula resikonya menghadapi hilang, rusak, atau tabrakan dalam kecelakaan. Banyak diantara sebab-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan sudah diperkirakan terjadinya, misalnya keusangan (slijtage), yaitu sesuatu kendaraan bermotor karena dipakai. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang mengurangi nilai kendaran bermotor itu mempunyai sifat yang tidak dapt dipasti terlebih dahulu dan tidak dapat dicegah, misalnya : kebakaran, kecurian, tabrakan kednaraan bermotor dan lain sebagainya.

Resiko tabrakan kendaraan bermotor yang tidak parah masih dapat ditanggulangi oleh pemiliknya sendiri dengan uang tabungan atau modal cadangan yang disimpannya. Tetapi kalau resiko tabrakan itu menimbulkan korban dan menimbulkan kerugian besar jumlahnya, akan terasa berat bagi pemilik kednaraan itu akan jatuh pailit bila dia memiliki perusahaan kendaraan bermotor. Untuk menghindari hal tersebut maka diusahakan agar resiko itu dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya.

Dengan cara berasuransi maka orang yang menghadapi resiko atas harta kekayaan termasuk kendaraan bermotor bermaksud untuk mengalihkan risikonya itu atau setidak-tidaknya membagi resiko itu dengan pihak lain yang bersedia menerima pralihan atau membagi resiko tersebut. Peruahaan yang pokok usahanya mengambil alih resiko itu disebut: perusahaan pertanggungan atau perusahaan asuransi pengalihan resiko tersebut dilakukan oleh pemilik harta benda, agar ia dapat menjalankan usahanya dengan tanang dan tanpa kawatir akan kemungkinan adanya kerugian besar yang akan membuatnya pailit atau jatuh miskin.

Perusahaan pertanggungan atau asuransi kendaraan bermotor dalam hal ini menjadi penanggung sedangkan pemilik kendaraan bermotor itu disebut tertanggung. Jaman dahulu penanggung itu berbentuk orang pribadi, sedangkan pada saat sekarang sudah berupah menjadi suatu badan hukum, yaitu Perseroan terbatas, Perusahaan Umum dan lain sebagainya.

Dengan demikian tampak bahwa tujuan perjanjian asuransi adalah: Mengalihkan segala resiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapkan terjadinya kepada orang lain yang mengambil resiko untuk mengganti kerugian.

Setiap asuransi pada prinsipnya merupakan saling menanggung. Dengan tidak disadari para tertanggung dalam satu pertanggungan merupakan suatu paguyuban (gemeenschap). Dan diantaranya banyak tertanggung tersebut pada umumnya hanya satu atau dua orang tanggung itu cukup dibayar dengan sebagian dari uang premi yang telah diterima oleh penanggung dari para tertanggung yang jumlahnya tidak sedikit. Jadi semakin banyak jumlah tertanggung yang khawatir akan suatu resiko umumnya penanggung semakin untung.

Kalau misalnya tertanggung pada satu macam yang mengalami evemen, yang berakibat penanggung harus mengganti kerugian atas suatu kecelakaan kendaraan bermotor diambilkan dari uang premi yang telah dibayar oleh tertanggung dalam macam resiko yang dipilih yang sudah diterima penanggung. Dengan ini dijelaskan bahwa makin banyak yang ditanggung oleh penanggung, maka kemungkinan penanggung. Dengan ini jelaslah bahwa makin banyak yang ditanggung oleh penanggung, maka kemungkinan penanggung mengalami kerugian dalam perusahaan pertanggungannya semakin jauh.

By : Julita 

Kamis, 28 April 2016

Akuntansi Asuransi Konvensional & Akuntansi Asuransi Syariah

I.          Pengertian Asuransi
a.    Asuransi Syari’ah
Asuransi dalam bahasa arab disebut At’ta’min yang berasal dati kata amanah  yang berarti memberikan ketenangan, perlindungan,rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas harta yang hilang.


Menurut fatwa Dewan Asuransi Syari’ah Nasional Majelis ulama Indonesia(DSN-MUI) Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengeertian asuransi syariah (Ta’min, takaful atau thadamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah oorang atau pihak melalui investasi dalam bentuk set dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
b.   Asuransi Konvensional
Asuransi konvensional adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung.[1]

II.          Perbedaan Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional
a.        Konsep
Prinsip dasar dalam asuransi syariah adalah saling tolong menolong (ta’awuni) dan saling menanggung (takafuli) antara sesama peserta asuransi.[2]
 Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. sebagai konsekwensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.
b.   Sumber Hukum
asuransi konvensional bersumber dari pemikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positiif, hukum alamiah dan contoh sebelumnya. Sedangkan asuransi syariah bersumber dari wahyu ilahi.
c.     Akad
akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjual-belikan. sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Sedangkan pada asuransi syariah mengggunakan akad tabbaru’ dan tijaroh.
d.    Maisir, Gharar dan Riba
Dalam praktik asuransi konvensional yang sarat dengna maisir, gharar dan riba yang merupakan hal yang diharamkan dalam bermuamalah.
e.    Tabarru dan Tabungan
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarruterdapat pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
f.     Dewan Pengawas Syariah 
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh dewan pengawas syariah (dps) yang merupakan bagian dari dewan syariah nasional (dsn), baik dari segi operational perusahaan, investasi maupun sdm. kedudukan dps dalam struktur oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.
C.  Perbedaan  Sistem  Akuntansi  Asuransi Syariah dan Akuntansi Asuransi Konvensional
Konsep akuntansi Islam dan akuntansi konvensional memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Sebab dasar-dasar akuntansi Islam adalah syariat Islam yang diimplementasikan dikalangan masyarakat muslim, yang prosesnya ditangani oleh para akuntan yang mengombinasikan kemampuan dan kecakapan dengan kejujuran kerja.
Berdasarkan pengertian, landasan syar’I dan prinsip-prinsip akuntansi syariah serta keterangan-keterangan diatas, dapat kita simpulkan sifat-sifat spesifik akuntansi syariah diantaranya sebagai berikut.
1.       Kaidah-kaidah dasar akuntansi Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah nabawiyah serta fiqih para ulama. Oleh karena itu kaidah-kaidah ini memiliki keistimewaannya yaitu permanen dan objektif.
2.      Akuntansi Islam dilandasi oleh kaidah yang kuat, iman, serta pengakuan bahwa Allah itu adalah Tuhan, Islam adalah agama, Muhammad adalah Rasul, dan juga percaya pada hari akhir. Berdasarkan hal ini, wajiblah bagi setiap akuntan yang menjalankan proses akuntansi un tuk percaya bahwa harta yang dia hitung itu adalah harta Allah, dan Allah telah menyuruhnya mencatat perputaran harta itu, seperti pemasukan dan pengeluaran berdasarkan kaidah-kaidah hokum.
3.      Akuntansi Islam berlandaskan pada akhlak yang baik. Karenanya, seorang akuntansi yang melaksanakan proses akuntansi harus mampu mempunyai sifat amanah, jujur, netral, adil, dan professional, supaya setiap kliennya neraca tentang terhadap harta dan terhadap orang yang ia berinteraksi dengannya.
4.      Dalam Islam, seorang akuntan dianggap bertanggung jawab di depan masyarakat dan umat Islam tentang berapa jauh kesatuan ekonomi yang dipengaruhi oleh hokum syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan muamalah. Keputusan-keputusan yang diambilnya yang akan diajukan kekantor-kantor resmi maupun organisasi-organisasi social, hendaklah mengandung informasi-imfomasi tentang bentuk-bentuk pelanggaran hokum dan sebab-sebabnya serta bentuk-bentuk yang kontradiktif antara syariat dan implementasi praktis.
5.      Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan yang bersifat kaidah dan akhlak, akuntansi dalam Islam juga berkaitan dengan proses-proses keuangan yang sah. Karenanya, setiap proses yang tidak sah tidak memiliki tempat dalam Islam.
6.      Akuntansi dalam Islam sangat memperhatikan aspek-aspek tingkah laku sebagai unsur dan juga berperan dalam kesatuan ekonomi. Artinya dalam akuntansi Islam, ketika merumuskan undang-undang akuntansi dan penentuan petunjuk-petunjuk evaluasi kerja, juga perlu diperhatikan motivasi-motivasi yang manusiawi, baik material maupun moril.

Dalam system akuntansi syariah memiliki beberapa perbedaan system akuntansi dengan akuntansi konvensional. Mohamed Arif bin Abdul Rashid, CEO PT. Syarikat Takaful Indonesia, dalam Eccounting Concept In Takaful Busines menjelaskan beberapa perbedaan tersebut sebagai berikut:
1.Cash Bases
Dalam praktik akuntansi konvensional, premi asuransi diakui sebagai pendapatan, walaupun premi asuransi belum dibayarkan.
Sedangkan dalam praktik akuntansi takaful atau asuransi syariah, angsuran atau premi dan laba dari investasi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika perusahaan telah menerimanya secara tunai. Praktik akuntansi ini memiliki arti yang penting yang berkaitan dengan system bisnis yang berperinsip pada mudharabah dimana akad mengikat antara peserta dengan perusahaan dalam kesepakatan bagi hasil.

2.Technical Reserve
Cadangan teknis merupakan bagian dari premi asuransi yang belum dihasilkan atau dikenal sebagai cadangan premi yang belum dihasilkan. Dalam system akuntansi takaful, cadangan teknik dihitung dengan menggunakan metode 1/365. Premi akan diakui sebagai pendapatan serta ditentukan menurut jumlah hari yang sebenarnya selama periode akuntansi dan masa perjanjian/kontrak Tafakul.

Beban Retakaful
Dalam praktik asuransi konvensional beban reasuransi selama masa perjanjian, diakui sebagai asuransi awal yang dikover. Praktik akutansi ini sesuai dengan standar yang diterima, yaitu perbandingan pendapatan dengan beban yang terjadi pada periode berjalan.
Dalam system akuntansi Takaful, beban retakaful selama masa perjanjian diakui sebagai utang sampai angsuran atau premi Takaful dibayar oleh peserta. Akan tetapi, beban retakaful ini akan diakui sebagai pendapatan juika seluruh premi dibayar lebih awal oleh peserta.

3.Surplus (Pada Asuransi Jiwa)
Dalam asuransi konvensional, surplus dari investasi ditrasfer ke pemegang saham sebagai pendapatan. Tetapi, di Takaful keluarga (jiwa), perusahaan tidak berhak mengakui surplus ini sebagai pendapatan.
Pada Takaful keluarga hanya laba dari dana investasi dibagikan antara peserta dan perusahaan sesuai yang diperjanjikan (misalnya 70:30 atau 60:40). Setelah dikurangi bagian keuntungan bagi perusahaan, sisa dari keuntungan ini merupakan pendapatan bagi peserta Takaful yang dikreditan kerening peserta.

4.Surplus (Pada Asuransi Kerugian)
Laba dari Takaful Umum (kerugian) dibagikan berdasarkan rasio pembagian keuntungan yang telah disepakati antara perusahaan dan peserta Takaful. Keuntungan dibayarkan jika peserta tafakul masih terikat perjanjian atau kontrak.
Keuntungan lain yang bersifat jangka panjang bahwa adanya nilai kebersamaan, tolong-menolong, dan saling menaggung jika di antara peserta terjadi klaim kerugian. Inilah sisi kemungkinan yang didapatkan dari asuransi Takaful.
Secara ringkas perbedaan antara akuntansi asuransi konvensial dengan akuntansi asuransi syariah dapat dilihat pada tabel berikut.
No
Akuntansi Asuransi Konvensial
Akuntansi Asuransi Syariah
1
Premi Asuransi diakui sebagai pendapatan meskipun premi asuransi belum dibayarkan.
Premi Asuransi benar-benar diakui sebagai pendapatan jika diterima secara tunai.
2
Beban retakul selama perjanjian diakui sebagai asuransi awal yang dikover.
Beban retakaful diakui sebagai utang sampai angsuran atau premi takaful dibayarkan. Dan beban retakaful diakui sebagai pendapatan jika dibayar lebih awal.
3
Dana asuransi yang terhimpun dikelola untuk kepentingan bisnis perusahaan dengan keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan dan pemegang saham.
Dana asuransi tafakul yang terhimpun dikelola dengan konsep mudharabah

4
Laba atau surplus investasi ditrasfer ke pemegang saham.
Laba investasi dari dana Takaful keluarga yang terhimpun dibagikan kepada peserta takaful keluarga dan perusahaan tidak berhak mengakui surplus ini sebagai pendapatan.
5
Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan asuransi merupakan laba perusahaan
Ada pembagian keuntungan/berdasarkan rasio yang disepakati dalam perjanjian

Konsep Akuntansi Asuransi Syariah yang diuraikan di atas adalah konsep akuntansi yang menggunakan akad mudharabah sebagaimana yang diterapkan di Syarikat Takaful Berhad Malaysia dan juga diterapkan di PT Asuransi Takaful keluarga Indonesia.
Selain ini ada juga model akuntansi asuransi syariah yang menggunakan akad wakalah dan konsep ini diakui berdasarkan Standar Accounting and Auditing Organizing for Islamic Financial Institutions (AAOIFI).
Kedua konsep ini menurut saya, menganut kebenaran yang pertama menggunakan akad mudharabah mewakili ‘mazhab Malaysia’ (Cash Bases), sedangkan yang kedua akad wakalah mewakili ‘Mazhab Bahrian’ (Accrual Bases).

gambar : https://www.google.com/search?q=gambar+Akuntansi+Asuransi+Konvensional+%26+Akuntansi+Asuransi+Syariah&client=firefox-beta&rls=org.mozilla:en-US:official&channel=fflb&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiD0Y_CjLPMAhULGI4KHb5TBiwQ_AUIBygB&biw=1366&bih=631#imgrc=bhxBoU9zvEvdhM%3A 

 by: Faiz Fahmi


Rabu, 27 April 2016

Risk Sharing Dalam Asuransi Syariah




Dalam pengelolaan risiko di asuransi, tentu berbeda antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Di asuransi syariah mengelola risiko dengan risk sharing (membagi risiko) sedangkan di asuransi konvensional dengan risk transfer (memindahkan risiko, dalam hal ini memindahkan ke pihak pengelola/perusahaan asuransi).

       Dengan konsep pembagian risiko, yang saling menanggung risiko adalah para peserta itu sendiri bukan perusahaan asuransi, sehingga perusahaan asuransi bukan sebagai penanggung tetapi berfungsi sebagai pemegang amanah, juga peserta tidak membeli polis tetapi memberikan donasi/derma (dalam asuransi syariah sering dinamakan tabarru’) yang diniatkan untuk tolong menolong diantara peserta bila terjadi musibah, juga tidak terjadi pengalihan kepemilikan dana, yang ada adalah pengumpulan dana atau pooling of fund.
         Contoh, ketika seorang peserta mengikuti asuransi kebakaran; untuk rumah tinggal, dia akan memberikan kontribusi dana (ditentukan oleh perusahaan asuransi syariah) yang diniatkan untuk tolong menolong diantara peserta, perusahaan asuransi syariah akan memasukkan dana tersebut kedalam suatu kumpulan dana peserta (rekening khusus), bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut maka perusahaan (sebagai wakil dari peserta) akan mengambil dana dari rekening khusus diatas dan memberikannya kepada peserta yang mengalami musibah, namun bila tidak terjadi musibah kebakaran terhadap tempat tinggal peserta diatas, dan masih ada kelebihan dana pada rekening khusus diatas, maka ada pengembalian sebagian dana tersebut.
          Berbeda dengan asuransi syariah, di mana dalam asuransi konvensional konsep risk transfer ini menempatkan premi yang dibayarkan peserta diakui sepenuhnya sebagai milik perusahaan. Apabila terjadi klaim, perusahaan akan membayarkan sejumlah uang penanggungan, namun jika tidak terjadi kalim maka peserta tidak akan mendapatkan apapun dan dananya akan hangus.
Source: 
by: Fitri Trisnawati

Minggu, 24 April 2016

Masih Ragu dengan Asuransi Syariah?




Sebagai warga Kota Bogor yang sering mengalami hujan tiba-tiba, saya jadi terbiasa (awalnya terpaksa) membawa payung ke mana-mana. Bahkan di hari cerah sekalipun. Rasanya ada yang belum lengkap dibawa jika payung belum dimasukkan ke dalam tas.
Asuransi mirip dengan payung. Sangat bermanfaat saat hujan lebat. Tapi tetap saja masih banyak orang malas membawa payung atau jas hujan saat pergi keluar rumah. Bukankah dari dulu sudah ada pepatah bijak yang berbunyi: “Sedia payung sebelum hujan.”
Jikalau begitu, lalu kenapa masih banyak anggota masyarakat yang berat berasuransi? Padahal sejatinya asuransi adalah perlindungan diri. Aneh rasanya jika seseorang tidak bersedia menjaga keselamatan dirinya sendiri.

Warga Negara Indonesia mayoritas muslim, tetapi masih belum tertarik atau bahkan belum tahu dengan  asuransi syari’ah. Adapula yang masih ragu tentang kesyari’ahannya asuransi syariah atau beranggapan asuransi syari’ah sama saja dengan asuransi kovensional, hanya nama saja yang dirubah tetapi sistem asuransinya sama dengan konvensional.
Disini saya akan sedikit menghilangkan keragu- raguan terkait asuransi syari’ah dari segi hukum asuransi syari’ah dalam perspektif Islam. Semoga dapat menghilangkan keraguan anda dan segera mendaftarkan diri sebagai peserta asuransi syari’ah.
      Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong-menolong atau saling membantu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta.
Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وتعاونوا على البر والتقوى ولاتعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله  إن الله شد يد العقاب
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2.
Para ahli hukum Islam kontemporer menyadari sepenuhnya, bahwa status hukum asuransi syariah belum pernah ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam dahulu (fuqaha). Pemikiran asuransi syariah seperti berlaku sekarang ini, merupakan hasil pergumulan antara pemahaman hukum syariat dengan realitas yang terjadi.
Namun apabila di cermati melalui kajian secara mendalam, maka ditemukan bahwa pada asuransi terdapat maslahat sehingga para ahli hukum Islam (kontemporer) mengadopsi manajemen asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam konteks ini asuransi dibolehkan walaupun ada perbedaan pendapat timbul dalam sebagian cara merealisasikan prinsip tersebut.
Beberapa pendapat para ulama mengenai hukum asuransi ditinjau dari fiqh Islam yang paling mengemuka, perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.    Pendapat pertama: Mengharamkan
“Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa”. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad bakhil al-muth’i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.       Asuransi sama dengan judi;
b.       Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c.        Asuransi mengandung unsur–unsur riba/renten;
d.      Asuransi mengandung unsur-unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.
e.       Premi-premi yang sudah dibayar akan diputus dalam praktik-praktik riba.
f.       Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
g.      Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh pendapat yang pertama ini yang mengharamkan asuransi, penulis setuju atas dasar asuransi seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dimana praktiknya hanya menguntungkan satu belah pihak saja atau bersifat untung-untungan yang kita tahu tidak dibenarkan dalam Islam.
2.    Pendapat kedua : Membolehkan
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar hukum Islam pada Universitas Kairo Mesir, dan Abd. Rahman Isa pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkamuha. Mereka beralasan:
a.       Tidak ada Nash (Al-Quran dan Sunnah) yang melarang asuransi
b.       Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
c.       Saling menguntungkan kedua belah pihak
d.      Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan
e.       Asuransi termasuk akad, madharabah (bagi hasil)
f.        Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah)
g.      Asuransi dianalogikan (Qiyaskan) dengan sistem persiun seperti taspen”
Untuk pendapat kedua ini penulis cenderung lebih membenarkan hal demikian, karena apabila  dicermati lebih lanjut asuransi seperti ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, dimana tidak merugikan satu sama lain. Hal ini dapat membangun perekonomian ummat, seperti yang dijalankan di asuransi syari’ah pada umumnya.
3.    Pendapatan ketiga : Asuransi Sosial Boleh dan Komersial Haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abzu Zahra (guru besar hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok-kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (Haram) dan sama pula dengan alas an kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh)”
Walaupun sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang Qadha dan Qadar atau bertentangan dengan takdir. Padahal sesungguhnya tidak demikian, karena pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian merupakan takdir Allah yang tidak dapat di tolak. Hanya saja sebagai manusia diperintahkan membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Seperti firman Allah dalam Surat Al-Hasyr, ayat 18 :
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله ولتنظرنفس ماقد مت لغد واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. AL-Hasyr:18).
Jelas sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan. Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal untuk kepentingan dimasa akan datang agar segala sesuatu yang benilai negatif, baik dalam bentuk musibah kecelakaan, kebakaran ataupun kematian. Dapat di minimalisir kerugiannya, karena kemampuan manusia hanya sebatas memprediksi dan merencanakan sesuatu yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang di rasa akan memberikan kerugian dimasa akan datang, sedangkan Allah menentukannya.
Hal serupa terhadap konsep asuransi juga telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama tujuh tahun Negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan kemudian diikuti masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya.
Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Mesir mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada tujuh tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa tujuh tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko bencana kelaparan.
Hasan Ali menyebutkan kaitan hal ini dengan Firman Allah SWT dalam Qs. Yusuf, ayat : 46 – 49
يوسف أيها الصديق أفتنافى سبع بقرات سمان يأكلهن سبع عجاف وسبع سنبلت خضروأخريا بست لعلى أرجع ألى الناس لعلهم يعلمون ﴿٤٦﴾ قال تزرعون سبع سنين دأبا فما حصدتم فذروه فى سنبله إلا قليلا مما تأكلون ﴿٤٧﴾ ثم يأتى من بعد ذالك سبع شداد يأكلن ما قدمتم لهن إلا قليلا مما تحصنون ﴿٤٨﴾ ثم يأتى من بعد ذالك عام فيه يغاث الناس وفيه يعصرون ﴿٤۹
Artinya : “Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru: “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, teranglah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”. Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”. (Qs. Yusuf :46 – 49).
Ayat ini juga memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini (modern) yang secara ekonomi dituntut agar mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT menunjukkan dalil dan bukti yang nyata kepada manusia bahwa praktik asuransi atau bisnis pertanggungan telah berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia. Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan Al-Qur’an atau Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Begitu dalam sumber hukum Islam yang kedua yaitu Al-hadist, ada juga menerangkan tentang anjuran untuk menghindari resiko, salah satunya adalah :

عن أنس بن مالك رضى الله عنهما قال : قال رجل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أعقلها أوأتو كل؟ قال : أعقلها وتوكل (رواه التر مذى)


Dr. Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW, tentang (untanya) : “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada Alla SWT?”. Bersabda Rasululla SAW: “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakal kepada Allah SWT.” (HR. At-tarmudzi)”.
Dalam Hadits ini pun Rasulullah SAW memberi tuntunan pada manusia agar selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah yang akan terjadi, bukannya langsung menyerahkan segala kepada Allah, tetapi harus ada usaha untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam perspektif Al-Qur’an kebutuhan manusia ditentukan oleh konsep maslahah, dimana konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka tujuan syariah Islam yaitu: Tercapainya kesejahteraan umat manusia. Begitu pula halnya barang dan jasa Asuransi syariah yang memberikan maslahah disebut kebutuhan manusia.
Menurut khallaf, bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya. Kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri atas beberapa hal yang bersifat kebutuhan pokok (dharuriyyah), kebutuhan (hajiyyah), dan penyempurna (Tahsiniyah).
Dalam hal ini keberadaan Asuransi Syariah dapat dikatakan sebagai kebutuhan hajiyyah. Kebutuhan hajiyyah yaitu suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan kehidupan.

Sumber:
By: Fadilah Arhan