Senin, 30 Mei 2016

Tak Cuma Bank, OJK Juga Dorong Asuransi Syariah


JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, saat ini market share dari perbankan syariah hanya mencapai 5 persen dari total potensi pasar di Indonesia.
Padahal, dengan besarnya jumlah umat muslim di Indonesia, seharusnya perbankan syariah di Indonesia dapat bersaing dengan perbankan konvensional.
Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad, untuk meningkatkan market share ini OJK akan mendorong pertumbuhan industri keuangan non bank (IKNB) syariah. Di antaranya adalah pertumbuhan asuransi yang juga memiliki potensi untuk dapat dikembangkan.
"Sekarang kita bukan dorong perbankannya saja tapi juga IKNB syariah dan mereka juga bisa berperan dan berpartisipasi untuk mendorong industri syariah secara keseluruhan," kata Muliaman di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (16/5/2016).
Untuk meningkatkan pembiayaan syariah, kata Muliaman, saat ini OJK akan mendorong perbankan syariah untuk dapat meningkatkan jumlah nasabah. Selain itu, perbankan syariah juga dituntut untuk memiliki berbagai produk baru untuk dapat menarik minat nasabah.
"Kita sekarang fokus untuk memperbanyak nasabah, produknya dan sosialisasinya harus diperluas. Oleh karena itu kerja sama dari berbagai pihak terkait menjadi suatu keperluan," imbuhnya,
Tahun lalu, total pembiayaan syariah telah mencapai 13 persen dan lebih tinggi dibandingkan pembiayaan perbankan konvensional. Untuk mengembangkan sistem pembuatan berbasis syariah ini, OJK pun saat ini telah menyiapkan roadmap hingga tahun 2019.
"Semua aturan sudah lengkap dituangkan dalam roadmap keuangan syariah baik bank, pasar modal dan IKNB-nya. Di dalam roadmap itu setiap tahun ada agenda-agenda yang akan dikerjakan," tutupnya.
-Thio Harbinadli Afflanda-

Rabu, 25 Mei 2016

POTENSI ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA

Pengertian Asuransi Syariah berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui Akad yang sesuai dengan syariah.



Asuransi Syariah adalah sebuah sistem di mana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “berbagi risiko”.

Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer risiko atau “memindahkan risiko” dari peserta ke perusahaan seperti pada asuransi konvensional. Peranan perusahaan asuransi pada asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta.

Potensi asuransi syariah di Indonesia berkembang cukup pesat. hal ini ditandai dengan meningkatnya total aset dan market share perusahaan asuransi syariah dari tahun ke tahun. Seperti data dibawah ini :


Sumber : LPKS - OJK , 2013
Data diatas, menunjukkan bahwa  pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia dari tahun ke tahun rata-rata meningkat. Baik apabila dilihat dari sisi total aset atau market share perusahaan asuransi. Walaupun pada tahun 2013 dan 2014 market share perusahaan asuransi syariah stagnan.
Dari data yang terhimpun, pertumbuhan asuransi cukup pesat. Karena dari tahun  2010 total nasabah sebanyak 3,3 juta jiwa, tahun 2011 total nasabahnya  meningkat menjadi 49,8 juta jiwa, Namun pada tahun 2012 total nasabah menurun hingga 45,7 juta saja. Berdasarkan data diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pertumbuhan asuransi syariah cukup pesat pada tahun 2011, meningkat secara signifikan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diketahui bahwa perkembangan industri perasuransian di Indonesia memiliki peran yang signifikan dalam mendukung terjadinya proses pembangunan nasional. Hal ini dilihat atas kontribusi perusahaan asuransi dalam memupuk dana jangka panjang dalam jumlah yang besar, yang kemudian digunakan sebagai dana dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah


sumber :
http://asuransisyariah.asia/product/4/94/Pengertian-Asuransi-Syariah
https://www.cermati.com/artikel/perkembangan-perusahaan-asuransi-di-indonesia
LPKS - OJK , 2013

Oleh : Shellvy Lukito AS 2013 A

.

OJK rombak daftar efek syariah

OJK rombak daftar efek syariah
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merombak kompilasi saham yang masuk dalam Daftar Efek Syariah (DES). OJK menetapkan, DES Periode I tahun 2016 ini terdiri dari 321 saham emiten dan perusahaan publik.


Daftar ini terdiri dari tiga emiten yang menyatakan bahwa kegiatan dan pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yakni PT Bank Panin Syariah Tbk, PT Bank Muamalat Tbk, dan PT Sofyan Hotel Tbk. Sementara sisanya merupakan perusahaan publik yang memenuhi kriteria berdasarkan screening saham syariah.
Sarjito, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK mengatakan, ada 26 emiten yang pada periode sebelumnya tidak masuk dalam DES dan sekarang masuk dalam daftar. Sementara ada 14 emiten yang dicoret dari DES karena sudah tidak memenuhi kriteria syariah, seperti rasio utang yang meningkat.
"Industri syariah masih bisa sangat berkembang. Dari sisi resiko pun lebih minim dibandingkan pasar konvensional. Sehingga harapannya, nanti akan ada insentif-insentif baru untuk industri syariah," ujar Sarjito, di Gedung OJK, Jakarta, Rabu (25/5).
Daftar efek syariah ini akan berlaku efektif pada 1 Juni 2016 mendatang. Daftar ini bisa menjadi panduan investasi bagi pengguna daftar efek syariah seperti manajer investasi pengelola reksa dana syariah, asuransi syariah, investor syariah, dan penyedia indeks syariah.
Per 20 Mei 2016, nilai efek saham syariah mencapai Rp 2.749,5 triliun dari total pasar yang sebesar Rp 5.001,8 triliun. Lalu, terdapat 45 efek surat utang syariah atau sukuk dengan nilai emisi mencapai Rp 9,5 triliun. Sementara efek syariah reksadana mencapai 102 efek dengan nilai Rp 9,3 triliun.


- RISKI SAPUTRA -

Untung Asuransi Jiwa Syariah Allianz Meroket

Untung Asuransi Jiwa Syariah Allianz Meroket
Peningkatan ini didorong oleh puluhan ribu polis baru.


Dream - Asuransi jiwa syariah Allianz, Allianz Life Syariah, mencatat pendapatan premi bruto sebesar Rp739,1 miliar pada tahun 2015. Pendapatan ini meningkat 7,2 persen dari pendapatan tahun 2014 sebesar Rp689,6 miliar.

Dengan perolehan tersebut, laba bersih dan total aset bisnis asuransi syariah ini tumbuh masing-masing 70,1 persen dan 13,3 persen dari tahun 2014.

"Kinerja tahun 2015 ini ditopang oleh minat masyarakat Indonesia terhadap produk asuransi syariah yang terus meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya 24 ribu penambahan polis baru," kata Chief of Sharia and Corporate Communication Allianz Indonesia, Kiswati Soeryoko, di Jakarta, dilansir dari situs resmi Allianz.

Kiswati mengatakan pendapatan premi bruto Allianz Life Syariah ini berasal dari pendapatan jalur keagenan sebesar Rp630,4 miliar atau 85,3 persen dan jalur bancassurance sebesar Rp76,83 miliar atau 10 persen dari seluruh total pendapatan premi bruto. Dia menyebutkan capaian ini berasal dari peran agen dan mitra bisnis yang memasarkan produk asuransi ini.

"Hingga 31 Desember 2015, kami didukung oleh lebih dari 3.800 agen yang telah berlisensi syariah dan dua mitra bank," kata dia.

Kiswati menambahkan total dana tabbaru Allianz Life Syariah ini sebesar Rp369,89 miliar atau meningkat 37,6 persen dari tahun 2015. Total pembayaran klaim pada tahun 2015 meningkat 31 persen dari tahun 2014 menjadi Rp231,57 miliar. Total dana kelolaan unit syariah pun mencapai Rp1,7 triliun pada tahun 2015.


- Riski Saputra -

Penetrasi asuransi syariah masih mini

Penetrasi asuransi syariah masih mini
JAKARTA. Peneterasi Asuransi Syariah terhadap populasi jumlah penduduk Indonesia tidak mencapai 1%. Peneterasi Asuransi Syariah nyaris tidak mengalami kenaikan jika dibandingkan akhir tahun 2015.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, porsi penetrasi asuransi jiwa syariah pada Maret 2016 sebeasr 0,075%. Jika dibandingkan pada Desember 2015 porsinya mencapai 0,076%.
Sementara itu, penetrasi asuransi umum pada Maret 2016 hanya mencapai 0,017% sedangkan pada Desember 2015 mencapai 0,012%.
Rendahnya penetrasi Asuransi Syariah ini diakui karena pemahaman masyarakat akan asuransi khususnya syariah masih rendah.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK menjelaskan, sekalipun produk Asuransi Syariah di pasar saat ini sudah terbilang lengkap dengan produk asuransi konvensional, masyarakat lebih memilih untuk produk konvensional. Pasalnya, sosialisasi produk Asuransi Syariah dinilai masih kurang ke masyarakat.

SUMBER

- Riski Saputra -


Senin, 23 Mei 2016

Tolong Menolong dengan Asuransi Syariah


Dalam sepuluh tahun terakhir asuransi syariah makin terus berkembang, meskipun tidak secara masif seperti lembaga keuangan konvensional lainnya. Namun eksistensinya di tengah masyarakat sangat jelas terasa, alhasil beberapa perusahaan asuransi konvensional pun kini turut mengeluarkan produk yang serupa. Hal ini membuktikan bahwa konsep asuransi syariah merupakan suatu produk keuangan yang dibutuhkan masyarakat di pasaran.
Salah satu faktor yang menarik perhatian masyarakat mengenai asuransi syariah adalah konsep yang ditawarkannya, karena masyarakat makin disadarkan mengenai unsur ghararriba dan maysir yang kerap terjadi dalam praktek asuransi konvensional. Hal inilah yang mendorong orang akhirnya berpikir untuk menggunakan produk asuransi syariah.
Dalam istilah fikih muamalah, gharar adalah suatu perkara yang kerap terjadi dalam jual beli yang tidak jelas objeknya. Misalnya ada orang yang menjual burung kepada anda, namun burung yang dijualnya adalah burung liar yang hinggap di dahan pohon. Atau contoh lainnya, ada seseorang yang menjual ikan dalam ember tertutup, kemudian ketika anda hendak membelinya, si penjual tidak menjelaskan kepada anda mengenai jenis ikan dan jumlahnya.  Maka dari sudut pandang fikih, jual beli semacam itu batal karena dalam rukun jual beli, penjual harus menguasai penuh akan barang tersebut dan di sisi lain tidak dibolehkan adanya ketidakjelasan.
Kemudian mengenai riba, tampaknya yang satu ini telah banyak disinggung oleh guru-guru agama atau oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dari sudut pandang ilmu fikih, riba adalah sesuatu yang melebihi pokoknya, ini berbeda dengan konsep jual beli karena salah satu pihak nantinya akan dirugikan dalam praktek riba itu. Adapun maysir, secara bahasa adalah judi atau mengadu nasib, hal ini bersifat untung-untungan atau lebih kepada spekulasi saja. Ini pun dilarang dalam Islam.
Menyadari akan hal itu, akhirnya asuransi syariah menjadi objek produk keuangan yang makin dilirik, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (KEIKNB) Firdaus Djaelani, turut memberikan pandangan mengenai peluncuran road map Industri Keuangan Non Bank (IKNB) khususnya dengan sistem syariah akan menentukan arah pengembangan bisnis keuangan syariah ke depan, termasuk industri asuransi syariah.
Dalam road map tersebut akan disebutkan langkah-langkah yang harus diambil oleh asuransi syariah untuk membesarkan literasinya yang masih kecil. Menurut Firdaus Djaelani, setelah membentuk program-program yang akan dituangkan dalam road map itu, OJK juga akan terus mengembangkan sosialisasinya pada berbagai pihak. Selain itu OJK juga akan memperbanyak suplai penjualan produk-produk asuransi syariah. Target yang diharapkan ke depannya adalah bukan memindahkan nasabah asuransi konvensional ke syariah, tetapi targetnya adalah asuransi syariah bisa lebih berkembang seperti asuransi konvensional.
Berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai dengan kuartal I 2014, Indonesia memiliki 48 perusahaan asuransi syariah, terdiri dari 20 asuransi jiwa, 25 asuransi umum dan kerugian, dan 3 reasuransi. Untuk keseluruhan perusahaan, asetnya tercatat sejumlah Rp 16,6 triliun, dengan rincian asuransi jiwa memiliki aset Rp 12,7 triliun, asuransi umum dan kerugian Rp 3,1 triliun dan reasuransi Rp 738 miliar.
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menargetkan pertumbuhan asuransi syariah di tahun 2016 bisa mencapai angka 10 hingga 30 persen. Angka yang cukup besar ini merupakan angka yang lebih besar dari pertumbuhan asuransi konvensional yang hanya 5 persen, sebagaimana yang dikemukakan oleh Firdaus Djaelani.
Menurut Firdaus Djaelani, pertumbuhan asuransi syariah dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi dibandingkan konvensional. Meski porsinya lebih kecil dari konvensional, namun permintaan akan produk asuransi syariah termasuk banyak belakangan ini.

Konsep yang Diterapkan Asuransi Syariah
Terjadinya akselerasi peningkatan pada asuransi syariah, tidak terlepas dari kesadaran masyarakat khususnya umat Islam yang kian hari kian meningkat. Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh gharar,riba, dan maysir berimplikasi pada kemudharatan yang dampaknya langsung dapat dirasakan oleh satu pihak, meskipun pihak lainnya merasa diuntungkan.
Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Gozali Sudirjo selaku Konsultan Asuransi Syariah, PT. Asuransi Takaful Keluarga. “Alhamdulillah secara umum masyarakat sudah mulai paham seputar lembaga keuangan berbasis syariah, diantaranya asuransi syariah yaitu Takaful,“ ujarnya saat penulis mewawancarainya.
Gozali Sudirjo pun menjelaskan, konsep yang ditawarkan asuransi syariah berbasis pada akad tijarah yang digunakan yaitu akad mudharabah, pihak perusahaan asuransi dalam hal ini Takaful berposisi sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shohibul mal (pemegang polis). Manakala dilakukan klaim oleh pemegang polis maka konsep klaim itu adalah sebagai berikut: Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian; Klaim dapat berbeda dalam jumlah sesuai dengan premi yang dibayarkan; Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya; Kemudian klaim atas akad tabarru’ (sumbangan/derma) merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan sebatas yang disepakati dalam akad.
Muhammad Abdul Manan, dalam bukunya, Islamic Economics Theory and Practice, menyampaikan bahwa, Dewan Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya “Asuransi Koperatif” yang tegak di atas prinsip ta’awun (saling tolong menolong) seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful.
Barangkali anda berpikir bahwa secara konsep dan istilah memang asuransi syariah berbeda dengan konvensional, namun secara substansi tidak ada beda antara asuransi syariah dan konvensional. Pandangan semacam ini, banyak menyebar di masyarakat jika logika yang dipakai seperti itu, namun hakikatnya jelas berbeda antara asuransi syariah dan konvensional, perbedaan paling mendasar terletak pada akad yang dilakukan di awal.
Dalam asuransi konvensional terjadi adanya gharar atau ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan landasan akad yang dibangun. Apakah tijarah (akad jual beli) atau akad takafuli (tolong menolong dalam pertanggungan) yang diterapkannya. Sebagai contoh, nasabah membayar asuransi untuk 10 tahun, setiap tahunnya ia membayar Rp1,000,000,-. Kemudian pada tahun keempat nasabah tersebut meninggal dunia, lantas pihak asuransi memberikan premi sebanyak Rp10,000,000.- padahal secara matematis nasabah tersebut baru membayar Rp4,000,000.- lantas dari manakah sisa Rp6,000,000,- yang diberikan oleh pihak perusaahaan asuransi kepada nasabahnya itu. Boleh jadi kita beranggapan pihak perusahaan memakai dana nasabah lain untuk si nasabah yang meninggal itu. Maka di sinilah letak ketidakjelasan itu terjadi.
Kemudian bagaimana praktek yang diterapkan asuransi syari’ah? Untuk menjawab ini, penulis akan mengambil contoh salah satu praktek yang dijalankan oleh asuransi syariah pertama di Indonesia yakni Asuransi Syariah Takaful, secara umum akad di takaful ada 2, yaitu tijarah dan tabarru' hal ini sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional  (DSN) No.21/dsn-mui/x/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah, secara umum dapat dikatakan sebagai akad takafuli atau pertanggungan atas dasar tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru’ . Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6 juta di atas bukanlah hal gharar tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru’ (derma), hal itu sudah dijelaskan di awal kepada para nasabahnya.
Mendermakan harta atas dasar tolong menolong adalah bagian dari ibadah. Harta yang didermakan itu pun tentunya menjadi bagian dari amal saleh yang tak luput dari perhitungan Allah, jika didasari dengan keikhlasan. Namun menggunakan harta orang lain tanpa sepengetahuannya adalah perkara yang batil meskipun tidak mengambilnya secara langsung. Lantas masihkah kita berani menerima uang yang diambil dari tabungan orang lain tanpa sepengetahuannya?



Oleh: Nur Indah Hidayati

Kamis, 19 Mei 2016

Permasalahan Asuransi Kontemporer

Permasalahan Asuransi Kontemporer

Permasalahan Asuransi Kontemporer




A. Ciri-ciri Asuransi Syariah

Asuransi syariah memiliki beberapa ciri utama yaitu sebagai berikut :
1. Akad asuransi syariah bersifat tabarru’, yaitu sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika bukan tabarru’ maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil mudharabah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapatkan imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jamaah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syariah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jamaah seperti dalam asuransi Takaful.
4. Akad asuransi syariah bersih dari gharar dan riba.
5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

B. Kendala Pengembangan Asuransi Syariah

1. Rendahnya tingkat perhatian masyarakat terhadap keberadaan asuransi syariah yang relative baru dibanding dengan asuransi konvensional yang telah lama dikenal masyarakat baik nama maupun operasinya. Keadaan ini kadangkala menurunkan motivasi pengelola dan pegawai asuransi syariah untuk tetap mempertahankan idealismenya.
2. Asuransi bukanlah bank yang melalui produknya berpeluang lebih besar untuk bisa berhubungan dengan masyarakat dalam hal pendanaan atau pembiayaan. Di lain pihak, masyarakat memiliki sedikit peluang untuk berhubungan dengan asuransi syariah, berkenaan rendahnya kepentingan masyarakat terhadap produk asuransi syariah.
3. Asuransi syariah sebagaimana bank dan lembaga keuangan syariah lain yang masih dalam proses mencari bentuk. Maka diperlukan langkah-langkah sosialisai kepada masyarakat, hal ini dilakukan selain untuk mendapatkan perhatian masyarakat, juga sebagai upaya mencari masukan demi perbaikan sistem yang ada.
4. Rendahnya profesionalisme sumber daya manusia (SDM) menghambat laju pertumbuhan asuransi syariah. Penyediaan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan kerjasama dengan berbagai pihak terutama lembaga-lembaga pendidikan untuk membuka atau memperkenalkan pendidikan asuransi syariah.

C. Strategi Pengembangan Asuransi Syariah

1. Perlu strategi pemasaran yang lebih terfokus kepada upaya untuk memenuhi pemahaman masyarakat tentang asuransi syariah. Maka asuransi syariah perlu meningkatkan kualitas pelayanan (quality services) kepada pemenuhan pemahaman masyarakat ini, misalnya mengenai : apa asuransi syariah, bagaimana operasi asuransi syariah, keuntungan apa yang didapat dari asuransi syariah, dan sebagainya.
2. Sebagai lembaga keuangan yang menggunakan sistem syariah tentunya aspek syiar Islam merupakan bagian dari operasi asuransi tersebut. Syiar Islam tidak hanya dalam bentuk normatif kajian kitab misalnya, tetapi juga hubungan antara perusahaan asuransi dengan masyarakat. Dalam hal ini, asuransi syariah sebagai perusahaan yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan (kematian, kecelakaan, kerusakan), setidaknya dalam masalah yang berhubungan dengan klaim nasabah asuransi syariah bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dibanding dengan asuransi konvensional.
3. Dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah, ulama, akademisi, dan masyarakat diperlukan untuk memberikan masukan dalam penyelenggaraan operasi asuransi syariah. Hal ini diperlukan selain memberikan kontrol bagi asuransi syariah untuk berjalan pada sistem yang berlaku, juga meningkatkan kemampuan asuransi syariah dalam menangkap kebutuhan dan keinginan masyarakat.


Beberapa pertimbangan untuk mengatasi persoalan-persoalan asuransi dalam perspektif hukum Islam :
1. Perlu adanya pengkajian secara mendalam serta diskusi yang intens tentang konsep asuransi syariah oleh kalangan yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan asuransi syariah baik dari kalangan akademisi maupun praktisi.
2. Diperlukan payung hukum yang kuat terhadap eksistensi asuransi syariah di Indonesia berupa Undang-Undang yang khusus mengatur tentang usaha asuransi syariah.
3. Maksimalisasi fungsi Dewan Pengawas Syariah yang terdapat dalam setiap perusahaan asuransi syariah. Dalam hal ini perlu adanya transfer pengetahuan dari para praktisi asuransi syariah pada kalangan anggota DPS.
4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang kesesuaian praktik asuransi syariah di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan dasar yang melandasi operasionalnya, khususnya yang berkenaan dengan ketentuan dasar yang mengacu pada prinsip dasar ekonomi Islam.

D. Hal-hal yang Menimbulkan Keberatan Islam terhadap Asuransi Konvensional

1. Asuransi konvensional adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung untuk membayar premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar klaim asuransi jika terjadi evenement.
2. Akad asuransi ini adalah akad muawadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
3. Akad asuransi adalah akad yang bersifat gharar, karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang akan diterima.
4. Akad asuransi ini adalah akad idzan (penundukan) terhadap pihak yang kuat yaitu perusahaan asuransi, karena dialah yang menentukan syarat-syarat pertanggungan secara sepihak sebagaimana yang tertuang dalam polis asuransi.


Gharar yang terdapat dalam Kontrak Asuransi dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Hukum Islam menegaskan bahwa tidak boleh ada kesamaran mengenai kewajiban-kewajiban yang dilaksanakan oleh para pihak terhadap suatu kontrak. Objek kontrak, khususnya harus ditentukan (diketahui / ma’lum). Syarat ini ketat, terutama terhadap objek-objek yang dapat diukur / ditimbang yang dapat dikenai larangan riba. Dan diantara sebab-sebab yang merusak suatu kontrak adalah perbuatan memperkaya diri secara tidak benar dan adanya gharar, kontrak asuransi tidak sah menurut hukum Islam jika tidak terlepas dari sebab-sebab ini.
b. Syarat jaminan tidak boleh bersifat tidak pasti karena menyebabkan ketidakabsahan kontrak secara keseluruhan. Sedangkan menurut pendapat lain syarat-syarat yang tidak sah diabaikan saja sedangkan kontrak itu sendiri tetap berlaku asalkan ia langsung dibayarkan karena sesuai prinsip Islam yang tidak membolehkan penundaan dalam penyerahan dan pemilikan timbal balik atas barang-barang yang dipertukarkan dan harus berlangsung pada saat kontrak. Yaitu pihak asuransi langsung membayarkan ganti rugi tanpa menunggu adanya kejadian seperti kecelakaan dan musibah lainnya. Akan tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan dalam asuransi sehingga keserupaan kontrak asuransi dengan kafalah adalah berbeda.
c. Yang menjadi subject-matter dalam kontrak asuransi adalah jaminan risiko (kompensasi) yang sesuai dengan perhitungan premi. Jadi asuransi adalah sejenis kontrak penjualan sebagaimana jelas dari polis asuransi. Dalam kontrak ini kompensasi ditentukan berdasarkan risiko, yang tidak pernah memberikan hasil yang pasti. Objek yang tidak dapat diraba atau tidak tentu, tidak mungkin menjadi subject matter dari sebuah kontrak penjualan menurut hukum Islam. Kontrak ijarah yang dijadikan qiyas oleh pihak pendukung asuransi tidak dapat disamakan dengan asuransi. Sebagai contoh kontrak ijarah untuk satpam yang menjadi subject matter adalah jasa menjaga keamanan, sedangkan keamanan itu sendiri bukanlah subject matter akan tetapi merupakan konsekuensi dari kontrak tersebut. Singkatnya, kontrak asuransi haram karena subject matternya tidak pasti dan tidak tentu.
d. Tujuan kontrak adalah mengalihkan risiko kerugian yang bernilai uang dari satu pihak ke pihak lain, yaitu dari pihak nasabah ke pihak perusahaan asuransi. Dalam asuransi bersama, risiko tidak dialihkan akan tetapi dipikul bersama oleh anggota asuransi tersebut. Akan tetapi dalam asuransi konvensional risiko ini bukan untuk ditanggung bersama dengan prinsip tolong menolong melainkan untuk diperjualbelikan.

E. Kedudukan kontrak asuransi konvensional di mata Islam

Kontrak asuransi konvensional dianggap sebagai kontrak penjualan yaitu suatu janji dari satu pihak (perusahaan asuransi) bahwa, sebagai balasan atas pembayaran, atau janji pembayaran, sejumlah uang yang disebut premi oleh pihak lain (nasabah peserta asuransi). Jika terjadi kerugian pada pihak kedua maka pihak pertama akan membayar nilai uang sampai batas maksimum yang telah disetujui.

Kedudukan kontrak asuransi konvensional di mata Islam :
a. Dapat disimpulkan bahwa kedudukan kontrak asuransi konvensional di mata Islam dipersamakan dengan kontrak sharf yaitu pertukaran mata uang dengan mata uang yang berlaku baginya doktrin riba dan mengharuskan adanya kesetaraan barang-barang yang dipertukarkan itu dalam persetujuan dan juga adanya saling penyerahan mereka pada saat kontrak. Kedua syarat ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh para pihak, tapi yang terjadi pada kontrak asuransi adalah sebaliknya sehingga kontrak inipun tidak sah.
b. Sedangkan asuransi kewajiban (liabilitas) yang dipersamakan dengan ‘aqd al-muwalat (wala’ yaitu hubungan perlindungan dan persahabatan). Wala’ ini diadakan menurut undang-undang antara pembebas dan budaknya yang dibebaskan berkaitan dengan tujuan-tujuan waris. Akan tetapi pada perkembangannya, Syafii berpendapat bahwa umat Islam menjadi ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Hak waris tidak bisa dilanggar oleh wasiat seluruh harta, maka hak umat Islam juga tidak bisa dirusak oleh ‘aqd al muwalat. Jadi prinsip ini tidak dapat diterapkan pada asuransi kewajiban. Selain itu perbedaan mendasar antara keduanya adalah kontak asuransi direncanakan untuk menutupi risiko yang tidak ditentukan, sedangkan al muwalat hanya untuk menutupi kerugian pada saat kerugian tersebut benar-benar terjadi.

F. Argumen tentang Kontrak Asuransi Modern

Para ulama berbeda pendapat mengenai kontrak asuransi modern menurut hukum Islam, berikut alasan yang mengharamkan dan jawabannya :
1. Asuransi merupakan kontrak perjudian dan pertaruhan.
Asuransi bukan perjudian, juga bukan pertaruhan karena didasarkan pada mutualitas (kebersamaan) dan kerja sama. Perjudian adalah suatu permainan keberuntungan dan, karenanya, merusak masyarakat. Asuransi adalah suatu anugrah bagi umat manusia, karena ia melindungi mereka dan memberikan keuntungan bagi perdagangan dan industri.
2. Asuransi bersifat tidak pasti
Ketidakpastian dalam transaksi dilarang dalam Islam karena menyebabkan perselisihan. Jelas dari ucapan-ucapan Nabi SAW bahwa kontrak penjualan dilarang bila penjual tidak sanggup menyerahkan barang yang dijanjikan kepadapembeli karena sifatnya yang tidak tentu. Seekor burung di udara atau seekor ikan di air, misalnya, tidak dapat diserahkan jika tidak ditangkap, dan tertangkapnyapun tidak pasti. Karena suatu ketidakpastian tidak dapat dihindarkan dalam transaksi dunia modern, maka dapat disimpulkan bahwa ucapan Nabi SAW itu menyinggung kasus-kasus dimana ketidakpastian muncul dalam bentuk ekstremnya, seperti dalam perjudian. Menurut keterangan ini, asuransi jauh dari ketidakpastian, khususnya ketika disertai dengan satu kompensasi (ganti rugi) yang pasti. Sebenarnya, kompensasi nyata dalam asuransi adalah keamanan yang dirasakan oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilannya.
3. Asuransi jiwa adalah alat dengan mana suatu usaha dilakukan untuk mengganti kehendak Tuhan.
Asuransi jiwa bukan alat untuk menolak kekuasaan Tuhan atau menggantikan kehendakNya, karena asuransi ini tidak menjamin suatu peristiwa yang tidak terjadi, tapi sebaliknya mengganti kerugian kepada peserta asuransi terhadap akibat-akibat dari suatu peristiwa atau risiko yang sudah ditentukan, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah (5) : 2.
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Kematian adalah suatu malapetaka menurut Al-Qur’an Surat Al-Maidah (5) : 106.
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian...
Oleh karena itu bisa diambil langkah-langkah untuk memperkecil keseriusan akibatnya dan kerugiannya dengan cara bekerjasama saling menolong dan membantu.
4. Dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tentu, karena peserta asuransi tidak tahu berapa kali cicilan yang akan dibayarnya sampai ia meninggal.
Para tokoh Hanafi mengadakan pembedaan antara ketidakjelasan yang menyebabkan kerancuan sehingga kontraknya tidak dapat dilaksanakan dengan ketidakjelasan yang tidak mempengaruhi pelaksanaan. Contohnya: bahwa persyaratan untuk semua kewajiban dinyatankan sah dengan alasan bahwa ia tidak menimbulkan kesalahpahaman apapun, sedangkan persyaratan dinyatakan tidak sah jika hanya untuk sebagian kewajiban saja. Begitupula dengan cicilan dalam asuransi jiwa tidak mempengaruhi keabsahan kontrak, juga tidak merugikan pihak manapun, karena jumlah tiap cicilan diketahui dan jumlah total dari semua cicilan diketahui pada saat semuanya sudah dibayar.
5. Perusahaan asuransi mengivestasikan uang yang dibayarkan oleh peserta asuransi dalam surat-surat berharga (sekuritas) berbunga. Dan, dalam asuransi jiwa, si peserta asuransi, atas kematiannya, berhak mendapatkan jauh lebih banyak dari jumlah yang telah dibayarkannya, yang merupakan riba (bunga).
Asuransi jiwa ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah dibayarnya.
6. Seluruh bisnis asuransi didasarkan pada riba, yang hukumnya haram.

G. Pandangan Ulama mengenai Asuransi

Diantara ulama yang mengharamkan Asuransi :
1. Ibnu Abidin, ulama Madzhab Hanafi
Berpendapat bahwa asuransi adalah haram, karena uang setoran peserta (premi) tersebut adalah iltizam maa lam yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak lazim / wajib). Juga diumpamakan sebagai pedagang tidak boleh mengambil uang pengganti dari barang-barangnya yang telah musnah.
2. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (Mufti Mesir) Menurut hukum syara’, jaminan atas harta benda adakalanya dengan tanggungan (kafalah) atau dengan jalan ta’addiy (itlaf).
Adapun jaminan dengan jalan kafalah dalam hal ini tidak terjadi karena persyaratan kafalah yaitu makful bih, utang yang benar tidak jatuh tempo disebabkan pelunasan atau pembebasan, atau benda yang dipertanggungkan dirinya. Bahkan makful anhu wajib menyerahkan bendanya itu sendiri untuk makful lahu. Jika benda itu musnah, maka diganti dengan benda-benda yang sebanding.
Adapun dengan cara ta’addiy (itlaf) juga tidak benar karena perusahaan yang menerima jaminan tidak melakukan pengrusakan atas peserta asuransi, namun lebih disebabkan oleh musibah dan malapetaka.
3. Muhammad al-Ghazali
Mengatakan bahwa asuransi adalah haram karena mengandung riba. Beliau melihat riba tersebut dalam pengelolaan dana asuransi dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis.
4. Yusuf Qardhawi
Mengatakan bahwa asuransi (konvensional) dalam praktik sekarang ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Contohnya : dalam asuransi kecelakaan
5. Syekh Abu Zahri
Mengatakan bahwa asuransi sosial hukumnya halal, sedangkan asuransi yang bersifat komersial hukumnya haram.
6. Dr. Muhammad Muslehuddin
Mengatakan bahwa kontrak asuransi konvensional ditolak oleh ulama dikarenakan asuransi bersifat tidak pasti, sementara penyokong modernis Islam membolehkannya.
7. Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili
Mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi termasuk ke dalam ‘aqd gharar yaitu akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang diakadkan.
8. Dr. Husain Hamid Hisan
Mengatakan bahwa akad asuransi adalah Mu’awadhah Maliyah yang mengandung gharar yaitu perjanjian dimana saling memberikan pengganti berupa harta /uang yang mengandung gharar. Akad asuransi juga mengandung riba, judi dan taruhan.
9. Pandangan-pandangan ulama pada lembaga internasional maupun nasional, muktamar atau fatwa oleh majelis, majma’ dan atau ormas Islam
1.) Muktamar Ekonomi Islam, di Mekkah tahun 1976 M.
Memutuskan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram karena mengandung riba dan gharar.
2.) Majma’ al-Fiqih al-Islami al-‘Alami (Kesatuan Ulama Fiqih Dunia), di Mekkah al-Mukarramah tahun 1979 M.
Memutuskan bahwa asuransi jenis perniagaan haram hukumnya, baik asuransi jiwa maupun yang lainnya.
3.) Majelis Kesatuan Ulama Besar, di Arab Saudi tahun 1977 M
Memutuskan bahwa asuransi jenis perniagaan hukumnya haram.
4.) Majma’ al-Fiqih al-Islami, di Jeddah tahun 1985 M.
Memutuskan pengharaman asuransi jenis perniagaan (konvensional)
5.) Pekan Fiqh Islam II – Pekan Ibnu Taimiyah, di Damaskus tahun 1961 M. dan Mu’tamar II Lembaga Research Islam, di Al-azhar Kairo tahun 1965 M.
Memutuskan bahwa asuransi konvensional bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalat dalam Islam.
6.) Fatwa Jawatan Kuasa Kebangsaan Malaysia, 15 Juni 1972.
Memutuskan bahwa asuransi jiwa tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dimana mengandung gharar, judi dan riba sehingga hukumnya haram.
7.) Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Memutuskan bahwa Asuransi saat ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam sehingga diperlukan pengaturan dan persyaratan-persyaratan tertentu agar sesuai dengan ketentuan syara’.
8.) Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Pada prinsippnya MUI menolak asuransi konvensional, tetapi menyadari realita dalam masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, DSN MUI dalam fatwanya memutuskan bahwa asuransi syariah diperbolehkan dengan berbagai ketentuan sesuai dengan Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Diantara ulama yang membolehkan Asuransi :
1. Syaikh Abdur Rahman Isa
Menurutnya, perjanjian asuransi adalah sama dengan perjanjian al-ji’alah (memberi janji upah), pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi dan perusahaan asuransi dengan nasabah saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai.
2. Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa
Mengatakan bahwa asuransi merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat, dimana asuransi jiwa dapat menguntungkan nasabah dan perusahaan yang mengelola asuransi tersebut.
3. Syekh Abdul Wahab Kholaf
Mengatakan bahwa asuransi itu boleh, dikarenakan termasuk ke dalam akad mudharabah yaitu perjanjian persekutuan dalam keuntungan dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan pihak lain.
4. Prof. Dr. Muhammad al-Bahi
Mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan merupakan suatu usaha yang bersifat tolong-menolong, memperluas lapangan kerja baru, dapat mengembangkan harta benda dan suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah.
5. Ustadz Bahjaj Ahmad Hilmi
Mengatakan bahwa tujuan asuransi ialah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta nasabah.
6. Syaikh Muhammad Dasuki
Mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan asuransi sama dengan syirkah mudharabah dan akad kafalah atau syirkatul ‘ainan juga pelaksanaannya berdasarkan Firman Allah SWT dalam surah al-An’aam ayat 82.
7. Dr. Muhammad Najatullah Shiddiq
Menganalogikan asuransi dengan kafalah atau ganti rugi.
8. Syaikh Muhammad Ahmad, MA, LLB.
Mengatakan bahwa asuransi jiwa dan konvensional boleh, dikarenakan persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal kepada Allah, didalam asuransi tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan juga tujuan dari asuransi yaitu kerjasama dan tolong menolong.
9. Syaikh Muhammad al-Madni
Mengatakan bahwa asuransi hukumnya menurut syara’ boleh, dikarenakan premi (iuran) asuransi itu diinventasikan dan bermanfaat untuk tolong menolong.
10. Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa
Mengatakan bahwa sistem asuransi ini memberi keamanan dan ketenangan hati bagi para anggotanya.

H. Dalil-Dalil Syar’i Yang Mendasari Pendirian dan Praktik Asuransi Syariah

1. Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan.
Allah SWT dalam Al-Quran memerintahkan kepada hambaNya untuk senantiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok, oleh karena itu berkaitan dengan usaha untuk menabung atau berasuransi.
Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr (59) : 18
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
2. Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah
QS An-Nisa (4) : 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
QS Al-Baqarah (2) : 280
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
An-Nisa (4) : 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Al-Baqarah (2) : 198
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
3. Perintah Allah untuk saling bertanggungjawab.
Dalam Islam, memikul tanggung jawab dengan niat baik dan ikhlas adalah suatu ibadah. Sehingga prinsip kebersamaan dan kesejahteraan setiap individu dapat terjamin. Disinilah pentingnya konsep asuransi. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa hadits Nabi SAW berikut :
Kedudukan persaudaraan orang yang beriman satu dengan yang lainnya ibarat satu tubuh. Bila salah satu anggota tubuh sakit, maka akan dirasakan sakitnya oleh anggota tubuh yang lain. (HR Bukhari dan Muslim)
Barangsiapa yang tidak mempunyai perasaan belas kasihan, maka ia juga tidak mendapat belas kasih dari Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
4. Perintah Allah untuk Saling Bekerjasama dan Bantu Membantu
Dalam asuransi syariah, para peserta satu sama lain bekerjasama dan saling menolong melalui instrumen dana tabarru’ (kebajikan) sesuai firman Allah SWT dalam QS Al-Maidah (5) : 2
Sedangkan dalam hadits :
Barangsiapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya (HR Bukhari Muslim dan Abu Dawud)
5. Perintah Allah untuk saling melindungi dalam keadaan susah
Allah SWT sangat peduli dengan kepentingan keselamatan dan keamanan dari setiap umatnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan untuk saling melindungi dalam keadaan susah satu sama lain. Allah berfirman dalam QS Quraisy (106) : 4
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Dan dalam hadits
Sesungguhnya orang yang beriman ialah barangsiapa yang memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa manusia. (HR Ibnu Majah)
6. Hadits-hadits Nabi SAW tentang prinsip bermuamalah
Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan prinsip-prinsip muamalah diantaranya :
Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya. (HR Muslim)
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain. (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik)
7. Kaidah-kaidah fiqh tentang muamalah
“Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”

I. Pendapat Yang Menjadi Alasan Dibolehkannya Asuransi Syariah

1. Asuransi tidak bertentangan dengan takdir.
Sesungguhnya berasuransi bukan berarti menghilangkan tawakal kepada Allah, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini ditentukan oleh Allah manusia hanya berusaha sebisanya. Jadi pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian merupakan qadha dan qadar dari Allah. Hal ini tidak dapat ditolak hanya saja kita juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi hari depan. Dengan mengikuti asuransi kita dapat mempersiapkan diri, melakukan ikhtiar antara lain dengan menyisihkan sebagian harta yang kita miliki melalui asuransi bersama dengan saudara-saudara kita yang lainnya. Sehingga jika takdir menjemput kita, maka persiapan-persiapan untuk keluarga yang kita tinggalkan dalam batas tertentu sudah tersedia.
2. Asuransi bukan judi / taruhan (maysir).
Salah satu ulama berpendapat bahwa sesungguhnya asuransi itu tidak termasuk judi / taruhan dengan alasan judi atau taruhan adalah suatu permainan yang hanya membuang-buang waktu juga merupakan penyakit moral, penyakit sosial, dan hambatan untuk menghasilkan insan yang berkualitas. Sedangkan dalam akad asuransi yang kita kenal selama ini hal tersebut tidak ada. Akad asuransi berdasarkan atas asas memperbaiki akibat-akibat malapetaka atau bencana atau peristiwa yang menimpa jiwa atau harta seseorang.

J. Kesimpulan

Dari berbagai pendapat dan penjelasan ulama yang diuraikan di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa asuransi syariah diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial seperti yang diterapkan dalam asuransi konvensional tidak diperbolehkan karena banyak mengandung unsur gharar dan riba.

Selasa, 17 Mei 2016

Bank Muamalat Luncurkan Produk Asuransi Syariah Baru

Bank Muamalat Luncurkan Produk Asuransi Syariah Baru
Produk asuransi syariah ini hasil kerjasama dengan Manulife Indonesia.

Dream - Pioner syariah Indonesia, Bank Muamalat dan Manulife Indonesia kembali meluncurkan produk asuransi baru. Diberi nama Zafirah Proteksi Sejahtera, produk asuransi berbasis syariah ini dirancang memberi perlindungan bagi nasabah. Kemunculan produk asuransi baru Muamalat ini tak lepas dari meningkatnya permintaan asuransi berbasis syariah di Tanah Air.

Sebelumnya, Manulife dan Bank Muamalat telah meluncurkan Zafirah Save Link yang merupakan unit link berbasis syariah yang menjadi produk pertama yang diluncurkan di bawah bendera Zafirah. Sebelumnya, kedua perusahaan juga meluncurkan Zafirah Medi Cash.

"Nasabah akan merasa lebih aman dan tidak perlu khawatir akan kehilangan pendapatan akibat kejadian tak terduga," kata Presiden Direktur Bank Muamalat, Endy PR Abdurrahman.

Zafirah Proteksi Sejahtera ditawarkan melalui jalur perbankan korporasi, perbankan ritel, UKM, dan unit keuangan mikro Bank Muamalat.

Sementara itu, Direktur Manulife INdonesia, Sutikno Sjarif mengaku khawatir dengan tren banyaknya keluarga Indonesia yang belum mendapatkan perlindungan keuangan memadai.
Produk Zafirah Proteksi Sejahtera ini menawarkan manfaat perlindungan senilai Rp 25 juta hingga Rp 1 miliar atau 500 kali kontribusi bulanan. Jumlah premi yang harus dibayarakan dimulai dari minimal Rp 50 ribu per bulan.


by : Nendah
 

Amerika Pun Kepincut Asuransi Syariah

Amerika Pun Kepincut Asuransi Syariah

AMERIKA Serikat sedang jatuh hati pada model bisnis asuransi syariah. Ini terbukti dengan pembelian saham asuransi syariah AmLife dan AmTakaful dari Malaysia oleh perusahaan asuransi Amerika, Metlife. Tak tanggung, penandatangan kerjasama yang berlangsung di Malaysia itu disaksikan langsung oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Perdana Menteri Malaysia Nazib Razak pada 28 April lalu. Metlife menggelontorkan dana sebesar hampir US$ 250 juta untuk membeli saham AmLife dan AmTakaful. Ini adalah pertama kali dalam sejarah Amerika Serikat masuk bisnis asuransi syariah Malaysia. Sejak tahun 2003 hingga 2013, AS telah menginvestasikan lebih dari US$ 13 miliar di Malaysia. Dalam dekade terakhir, ekspor AS ke negara tersebut mencapai US$ 247,5 miliar, sedangkan impor sebesar US$ 173,3 miliar.




Beberapa hari sebelumnya, pada 25-27 April 2014 perguruan tinggi nomor satu di dunia, Harvard University, menggelar forum mengkaji ekonomi Islam. Antaranews.com melaporkan, para pembicara diundang dari sejumlah negara diantaranya Inggris, Prancis, Jerman, Australia, India, Pakistan, Arab Saudi, UAE, Indonesia, Malaysia, selain tuan rumah Amerika, tentang isu seputar asuransi syariah. Dari Indonesia, hadir tiga pembicara di forum bertajuk "The Eleventh Harvard University Forum on Islamic" ini. Mereka adalah Murniati Mukhlisin (dosen Akuntansi Islam dan anggota manajemen kampus STEI Tazkia), Dr. Raditya Sukmana, (Ketua Prodi Ekonomi Islam, Universitas Airlangga), dan Dr. Sutan Emir Hidayat, pengajar di University College of Bahrain.

Murniati memaparkan risetnya tentang akuntansi untuk takaful menjelaskan bahwa akuntansi memainkan peranan penting untuk menunjang pertumbuhan industri takaful sehingga diperlukan standar akuntansi yang sesuai dengan industri. Raditya dan Sutan menitikberatkan pada tantangan tentang takaful mikro yang sekarang sedang marak di Indonesia. Direktur, Islamic Finance Project, Harvard Law School, Harvard University, Nazim Ali mengatakan forum keuangan syariah yang bertemakan takaful dan konsep saling menguntungkan telah berlangsung sejak 1994 dan senantiasa didukung oleh Harvard Business School dan Harvard Law School.

Sehari setelah pertemuan itu, di Malaysia, Obama dan Najib menyaksikan kerjasama asuransi syariah antara perusahaan Malaysia dan Amerika Serikat.


by : Nendah

 

Senin, 16 Mei 2016

BPJS Kesehatan - Mengurai Akar Kisruh Jaminan Kesehatan Nasional



Mengurai Akar Kisruh JKN
Amri Yusuf  ;   Pemerhati Masalah Jaminan Sosial;
Mantan Anggota Direksi BPJS 2012-2016
                                                        KOMPAS, 04 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam beberapa minggu ini publik ramai memperdebatkan soal masa depan Jaminan Kesehatan Nasional. Perdebatan ini dipicu rencana pemerintah yang akan menyesuaikan iuran per 1 April 2016 untuk semua kelompok peserta yang meliputi, peserta penerima bantuan iuran, peserta bukan penerima upah, peserta bukan pekerja, dan peserta penerima upah.

Motif pemerintah dan BPJS Kesehatan melakukan penyesuaian iuran adalah untuk mengantisipasi dan meminimalkan defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jika pada tahun 2015 program JKN defisit Rp 5,85 triliun, pada 2016 defisit JKN diperkirakan akan melonjak mencapai Rp 7 triliun-Rp 10 triliun (Kompas, 18/3/2016).

Meski pemerintah sudah berusaha untuk bersikap rasional dan bijak dalam rangka menekan defisit JKN, tetapi masih ada kalangan yang menganggap bahwa kebijakan tersebut tidak adil dan belum tentu dapat memperbaiki kualitas layanan JKN. Bahkan ada sebagian masyarakat tidak yakin bahwa dengan menaikkan iuran tersebut otomatis defisit JKN bisa ditekan atau ditambal segera. Pandangan ini diungkapkan dengan baik dan tajam dalam artikel yang ditulis Hasbullah Thabrany (Kompas, 2/3/2016) dan Taufik Hidayat (Kompas, 19/3/2016).

Dimensi "universal coverage"

Sebagaimana yang dikonstatasi dalam buku peta jalan (roadmap) JKN 2012- 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan ada tiga dimensi yang mutlak diperhatikan dalam pencapaian universal coverage, yaitu (1) seberapa besar persentase penduduk yang dijamin, (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin, dan (3) seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung penduduk.

Dimensi pertama terkait dengan jumlah penduduk yang dijamin. Berdasarkan data BPJS Kesehatan kita mengetahui bahwa hingga akhir 2015, jumlah peserta yang sudah terdata mencapai 156,56 juta jiwa, dengan rincian: peserta penerima bantuan iuran (PBI) 87 juta, peserta penerima upah (PPU) 38 juta, peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (PBP) 19,7 juta, serta Jamkesda dan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU) Askes 11,68 juta.

Dimensi kedua adalah layanan kesehatan yang dijamin, baik layanan di rumah sakit dan juga termasuk layanan rawat jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya kesehatan yang dijamin. Dalam konteks ini dapat saja seluruh penduduk dijamin biaya rumah sakitnya, tetapi setiap penduduk juga harus ikut membayar sebagian biaya rumah sakit (cost sharing).

Semakin kaya suatu negara, semakin mampu negara tersebut menjamin seluruh penduduknya untuk seluruh layanan kesehatan. Inggris, misalnya, menjamin layanan kesehatan komprehensif, termasuk transplantasi organ untuk seluruh penduduk (bukan hanya warga negara, tetapi penduduk yang legal tinggal di Inggris). Malaysia menjamin seluruh penduduknya mendapat pengobatan dan perawatan di rumah sakit, hanya saja penduduk harus membayar 3 ringgit (sekitar Rp 10.000) per hari perawatan. Begitu juga Thailand yang membebankan ke masyarakatnya 30 baht (sekitar Rp 10.500) untuk sekali berobat atau sekali perawatan di rumah sakit.

Kunci sukses "universal coverage"

Agar tidak terjebak dalam diskusi atau kontroversi yang sama setiap tahun, terutama pada saat menghadapi kemungkinan JKN yang dipastikan akan mengidap "penyakit bawaan" berupa defisit, sejak sekarang ada baiknya kita segera menyiapkan dan menyempurnakan berbagai prasyarat yang dibutuhkan untuk mendukung implementasi universal coverage bagi program JKN.

Ketika kita mereplikasi program JKN tersebut dari negara-negara lain yang telah lebih dahulu menerapkan program serupa, kita hanya terpesona dengan impak positifnya, tetapi kurang kritis terhadap kondisi yang menjadi syarat untuk mewujudkannya. Becermin dari pengalaman negara-negara lain yang telah lebih dahulu menjalankan program kesehatan universal tersebut, seyogianya ada tiga kondisi yang perlu disiapkan, baik sebelum atau pada saat program kesehatan universal akan diterapkan. Ketiga kondisi tersebut adalah kunci sukses bagi penyelenggaraan program JKN universal.

Pertama, program jaminan kesehatan yang berbasis universal mutlak didukung oleh ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan yang memadai, seperti rumah sakit, klinik, dokter, paramedis, dan lain-lain. Infrastruktur layanan kesehatan ini harus dipastikan tersedia dalam jumlah memadai dan proporsional dengan jumlah peserta yang akan dilayani. Jika infrastruktur layanan kesehatan kesenjangannya terlalu lebar, program kesehatan yang berbasis universal bisa menjadi bumerang. Masyarakat bukannya gembira, puas, dan terlayani, yang muncul justru derita, kecewa, dan kemarahan. Situasi inilah agaknya yang kini sedang kita hadapi.

Pihak yang paling bertanggung jawab untuk memastikan ketersediaan infrastruktur layanan ini adalah pemerintah, khususnya kementerian kesehatan. BPJS Kesehatan sebagai operator tidak mungkin menanggung beban tersebut. Seyogianya pemerintah sejak program JKN ini digulirkan dua tahun lalu sudah memiliki peta jalan dan rencana induk untuk membangun dan menyediakan infrastruktur layanan itu di seluruh Indonesia dalam jangka waktu yang terukur dan tak terlalu lama, dengan anggaran yang memadai.

Kedua, dalam program kesehatan yang bersifat universal, negara memikul tanggung jawab untuk memberi subsidi dan proteksi kepada masyarakat yang miskin dan tidak mampu. Untuk itu dibutuhkan ketersediaan anggaran yang cukup dan berkelanjutan. Masih adanya gap iuran PPBI dengan yang direkomendasikan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), penyebabnya anggaran yang terbatas.

Belajar dari pengalaman banyak negara lain yang telah menerapkan program sejenis, negara-negara tersebut umumnya memiliki cadangan anggaran yang solid dan memadai, terutama yang berasal dari pajak. Karena itu, umumnya negara-negara yang menyelenggarakan program kesehatan universal memiliki administrasi pajak yang sangat baik dengan rasio cakupan pajak (tax coverage ratio) yang cukup tinggi. Pembiayaan subsidi program JKN seyogianya ditopang oleh dana pajak, mirip seperti di AS (social security tax).

Ketiga, program kesehatan universal membutuhkan administrasi kependudukan yang rapi, tunggal, dan terintegrasi agar layanannya menjadi lebih tepat sasaran. Untuk prasyarat ini Indonesia sebenarnya sudah memiliki modal yang cukup, yakni UU Nomor 24 Tahun 2013 yang mengatur soal nomor induk kependudukan (NIK).

NIK dan data administrasi kependudukan jangan hanya dijadikan instrumen untuk verifikasi dan validasi. Data administrasi kependudukan tersebut mubazir jika hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pemilu dan pilkada an sich. Kita membutuhkan sebuah identitas tunggal yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti mendaftar sekolah, menjadi peserta jaminan sosial, membayar pajak, mendaftar kerja, mengurus paspor, dan membuat rekening dan kartu kredit di bank. Kita harus mulai berpikir untuk mengintegrasikan semua jenis kartu-kartu tersebut. Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), NPWP, Kartu BPJS Kesehatan, dan Kartu BPJS Ketenagakerjaan serta kartu-kartu lain yang memenuhi dompet orang-orang Indonesia perlu disederhanakan dan diintegrasikan dalam satu identitas tunggal.

Revisi prinsip SJSN

Untuk memastikan bahwa ketiga kunci sukses tersebut bisa segera dieksekusi, aspek lain yang seyogianya dilakukan agar peran dan komitmen pemerintah menjadi lebih solid dan kuat terhadap keberlanjutan program jaminan sosial adalah dengan mengadopsi dua prinsip penting jaminan sosial lainnya, seperti yang pernah direkomendasikan Organisasi Buruh Internasional (ILO, Extending Social Security to All, 2010). Sembilan prinsip SJSN sebagaimana termaktub dalam UU No 40/2004 harus direvisi dan ditambahkan, karena belum merepresentasikan komitmen dan kemauan politik (political will) yang kuat dari pemerintah atas sustainabilitas program jaminan sosial di Indonesia. Kedua prinsip tersebut adalah universalitas (universality) dan progresivitas (progresisiveness).

Prinsip universalitas, menekankan pada hak seluruh penduduk untuk mendapatkan kepastian akses perlindungan sosial dalam sistem jaminan sosial yang efektif. Universal berarti akses perlindungan sosial tersebut diselenggarakan berbasis kepada hak penduduk (right bases scheme). Hal ini merupakan prinsip yang fundamental dan mendasari seluruh aspek pengembangan sistem jaminan sosial di berbagai belahan dunia. Mengingat kepesertaannya yang juga mencakup penduduk miskin/tidak mampu/tidak bekerja/cacat yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar iuran, lazimnya sistem ini diselenggarakan oleh negara. Prinsip universalitas ini juga yang mendasari agar penyelenggara jaminan sosial tidak boleh lepas dari tanggung jawab negara.

Ada pun prinsip progresivitas menjelaskan bahwa sebagai instrumen publik yang memiliki karakteristik investasi di bidang modal sosial (social capital) dan modal manusia yang produktif. Karena itu, sistem jaminan sosial harus diselenggarakan secara berkelanjutan dan tidak boleh berhenti pada tingkat manfaat dasar saja (basic benefit). Manfaat dasar merupakan langkah awal yang menjadi fondasi pengembangan sistem jaminan sosial. Prinsip progresivitas juga menekankan bahwa konsep universalitas tidak berarti memberikan keseragaman manfaat kepada seluruh penduduk (uniformity).

Absennya prinsip progresivitas berimplikasi pada tidak adanya proses monitoring kepada para penduduk yang menerima bantuan langsung tunai (BLT) pada saat krisis beberapa waktu yang lalu. Akibatnya, bantuan tersebut tidak membantu penduduk menjadi mandiri dan berpindah ke cakupan manfaat yang lebih tinggi. Kita harus mewaspadai munculnya perangkap kesejahteraan (welfare trap), seperti sikap malas, manja, dan hanya bisa menuntut hak, yang akan diidap penduduk suatu negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial, jika prinsip ini tidak diterapkan secara konsekuen.

Kisruh JKN sesungguhnya membutuhkan solusi yang lebih solid dan fundamental. Selain memantapkan dimensi-dimensi universal coverage, seperti yang dikonstatasi oleh WHO, JKN juga membutuhkan dukungan berupa pemenuhan prasyarat untuk menuju implementasi universal coverage, seperti tersedianya infrastruktur layanan kesehatan yang proporsional, administrasi pajak rapi, dan NIK kependudukan.

Untuk menyempurnakan ikhtiar mengurai kisruh JKN tersebut, Indonesia perlu segera mengadopsi dua prinsip penting jaminan sosial lainnya, yaitu prinsip universalitas dan prinsip progresivitas. Kedua prinsip ini perlu segera diadopsi dengan merevisi UU No 40/2004 tentang SJSN, karena kedua prinsip tersebut akan menjadi basis konstitusional untuk mengawal implementasi JKN dalam jangka panjang. Pekerjaan rumah besar ini harus dituntaskan oleh semua elemen bangsa, agar kisruh JKN bisa segera mereda. ●