Dalam
beberapa minggu ini publik ramai memperdebatkan soal masa depan Jaminan Kesehatan
Nasional. Perdebatan ini dipicu rencana pemerintah yang akan menyesuaikan
iuran per 1 April 2016 untuk semua kelompok peserta yang meliputi, peserta
penerima bantuan iuran, peserta bukan penerima upah, peserta bukan pekerja,
dan peserta penerima upah.
Motif
pemerintah dan BPJS Kesehatan melakukan penyesuaian iuran adalah untuk
mengantisipasi dan meminimalkan defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Jika pada tahun 2015 program JKN defisit Rp 5,85 triliun, pada 2016 defisit
JKN diperkirakan akan melonjak mencapai Rp 7 triliun-Rp 10 triliun (Kompas,
18/3/2016).
Meski
pemerintah sudah berusaha untuk bersikap rasional dan bijak dalam rangka
menekan defisit JKN, tetapi masih ada kalangan yang menganggap bahwa
kebijakan tersebut tidak adil dan belum tentu dapat memperbaiki kualitas
layanan JKN. Bahkan ada sebagian masyarakat tidak yakin bahwa dengan
menaikkan iuran tersebut otomatis defisit JKN bisa ditekan atau ditambal
segera. Pandangan ini diungkapkan dengan baik dan tajam dalam artikel yang
ditulis Hasbullah Thabrany (Kompas, 2/3/2016) dan Taufik Hidayat (Kompas,
19/3/2016).
Dimensi
"universal coverage"
Sebagaimana
yang dikonstatasi dalam buku peta jalan (roadmap) JKN 2012- 2019,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan ada tiga dimensi yang mutlak
diperhatikan dalam pencapaian universal coverage, yaitu (1) seberapa besar
persentase penduduk yang dijamin, (2) seberapa lengkap pelayanan yang
dijamin, dan (3) seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung
penduduk.
Dimensi
pertama terkait dengan jumlah penduduk yang dijamin. Berdasarkan data BPJS
Kesehatan kita mengetahui bahwa hingga akhir 2015, jumlah peserta yang sudah
terdata mencapai 156,56 juta jiwa, dengan rincian: peserta penerima bantuan
iuran (PBI) 87 juta, peserta penerima upah (PPU) 38 juta, peserta bukan
penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (PBP) 19,7 juta, serta
Jamkesda dan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU) Askes 11,68
juta.
Dimensi
kedua adalah layanan kesehatan yang dijamin, baik layanan di rumah sakit dan
juga termasuk layanan rawat jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya
kesehatan yang dijamin. Dalam konteks ini dapat saja seluruh penduduk dijamin
biaya rumah sakitnya, tetapi setiap penduduk juga harus ikut membayar
sebagian biaya rumah sakit (cost sharing).
Semakin
kaya suatu negara, semakin mampu negara tersebut menjamin seluruh penduduknya
untuk seluruh layanan kesehatan. Inggris, misalnya, menjamin layanan
kesehatan komprehensif, termasuk transplantasi organ untuk seluruh penduduk
(bukan hanya warga negara, tetapi penduduk yang legal tinggal di Inggris).
Malaysia menjamin seluruh penduduknya mendapat pengobatan dan perawatan di
rumah sakit, hanya saja penduduk harus membayar 3 ringgit (sekitar Rp 10.000)
per hari perawatan. Begitu juga Thailand yang membebankan ke masyarakatnya 30
baht (sekitar Rp 10.500) untuk sekali berobat atau sekali perawatan di rumah
sakit.
Kunci
sukses "universal coverage"
Agar
tidak terjebak dalam diskusi atau kontroversi yang sama setiap tahun, terutama
pada saat menghadapi kemungkinan JKN yang dipastikan akan mengidap
"penyakit bawaan" berupa defisit, sejak sekarang ada baiknya kita
segera menyiapkan dan menyempurnakan berbagai prasyarat yang dibutuhkan untuk
mendukung implementasi universal coverage bagi program JKN.
Ketika
kita mereplikasi program JKN tersebut dari negara-negara lain yang telah
lebih dahulu menerapkan program serupa, kita hanya terpesona dengan impak
positifnya, tetapi kurang kritis terhadap kondisi yang menjadi syarat untuk
mewujudkannya. Becermin dari pengalaman negara-negara lain yang telah lebih
dahulu menjalankan program kesehatan universal tersebut, seyogianya ada tiga
kondisi yang perlu disiapkan, baik sebelum atau pada saat program kesehatan
universal akan diterapkan. Ketiga kondisi tersebut adalah kunci sukses bagi
penyelenggaraan program JKN universal.
Pertama,
program jaminan kesehatan yang berbasis universal mutlak didukung oleh
ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan yang memadai, seperti rumah
sakit, klinik, dokter, paramedis, dan lain-lain. Infrastruktur layanan
kesehatan ini harus dipastikan tersedia dalam jumlah memadai dan proporsional
dengan jumlah peserta yang akan dilayani. Jika infrastruktur layanan
kesehatan kesenjangannya terlalu lebar, program kesehatan yang berbasis
universal bisa menjadi bumerang. Masyarakat bukannya gembira, puas, dan
terlayani, yang muncul justru derita, kecewa, dan kemarahan. Situasi inilah
agaknya yang kini sedang kita hadapi.
Pihak
yang paling bertanggung jawab untuk memastikan ketersediaan infrastruktur
layanan ini adalah pemerintah, khususnya kementerian kesehatan. BPJS
Kesehatan sebagai operator tidak mungkin menanggung beban tersebut.
Seyogianya pemerintah sejak program JKN ini digulirkan dua tahun lalu sudah
memiliki peta jalan dan rencana induk untuk membangun dan menyediakan
infrastruktur layanan itu di seluruh Indonesia dalam jangka waktu yang
terukur dan tak terlalu lama, dengan anggaran yang memadai.
Kedua,
dalam program kesehatan yang bersifat universal, negara memikul tanggung
jawab untuk memberi subsidi dan proteksi kepada masyarakat yang miskin dan
tidak mampu. Untuk itu dibutuhkan ketersediaan anggaran yang cukup dan
berkelanjutan. Masih adanya gap iuran PPBI dengan yang direkomendasikan oleh
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), penyebabnya anggaran yang terbatas.
Belajar
dari pengalaman banyak negara lain yang telah menerapkan program sejenis,
negara-negara tersebut umumnya memiliki cadangan anggaran yang solid dan memadai,
terutama yang berasal dari pajak. Karena itu, umumnya negara-negara yang
menyelenggarakan program kesehatan universal memiliki administrasi pajak yang
sangat baik dengan rasio cakupan pajak (tax coverage ratio) yang cukup
tinggi. Pembiayaan subsidi program JKN seyogianya ditopang oleh dana pajak,
mirip seperti di AS (social security tax).
Ketiga,
program kesehatan universal membutuhkan administrasi kependudukan yang rapi, tunggal,
dan terintegrasi agar layanannya menjadi lebih tepat sasaran. Untuk prasyarat
ini Indonesia sebenarnya sudah memiliki modal yang cukup, yakni UU Nomor 24
Tahun 2013 yang mengatur soal nomor induk kependudukan (NIK).
NIK
dan data administrasi kependudukan jangan hanya dijadikan instrumen untuk
verifikasi dan validasi. Data administrasi kependudukan tersebut mubazir jika
hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pemilu dan pilkada an sich. Kita
membutuhkan sebuah identitas tunggal yang dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan, seperti mendaftar sekolah, menjadi peserta jaminan sosial,
membayar pajak, mendaftar kerja, mengurus paspor, dan membuat rekening dan
kartu kredit di bank. Kita harus mulai berpikir untuk mengintegrasikan semua
jenis kartu-kartu tersebut. Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia
Pintar (KIP), NPWP, Kartu BPJS Kesehatan, dan Kartu BPJS Ketenagakerjaan
serta kartu-kartu lain yang memenuhi dompet orang-orang Indonesia perlu
disederhanakan dan diintegrasikan dalam satu identitas tunggal.
Revisi
prinsip SJSN
Untuk
memastikan bahwa ketiga kunci sukses tersebut bisa segera dieksekusi, aspek
lain yang seyogianya dilakukan agar peran dan komitmen pemerintah menjadi
lebih solid dan kuat terhadap keberlanjutan program jaminan sosial adalah
dengan mengadopsi dua prinsip penting jaminan sosial lainnya, seperti yang
pernah direkomendasikan Organisasi Buruh Internasional (ILO, Extending
Social Security to All, 2010). Sembilan prinsip SJSN sebagaimana
termaktub dalam UU No 40/2004 harus direvisi dan ditambahkan, karena belum
merepresentasikan komitmen dan kemauan politik (political will) yang
kuat dari pemerintah atas sustainabilitas program jaminan sosial di
Indonesia. Kedua prinsip tersebut adalah universalitas (universality)
dan progresivitas (progresisiveness).
Prinsip
universalitas, menekankan pada hak seluruh penduduk untuk mendapatkan
kepastian akses perlindungan sosial dalam sistem jaminan sosial yang efektif.
Universal berarti akses perlindungan sosial tersebut diselenggarakan berbasis
kepada hak penduduk (right bases scheme). Hal ini merupakan prinsip
yang fundamental dan mendasari seluruh aspek pengembangan sistem jaminan
sosial di berbagai belahan dunia. Mengingat kepesertaannya yang juga mencakup
penduduk miskin/tidak mampu/tidak bekerja/cacat yang tidak memiliki kemampuan
untuk membayar iuran, lazimnya sistem ini diselenggarakan oleh negara.
Prinsip universalitas ini juga yang mendasari agar penyelenggara jaminan
sosial tidak boleh lepas dari tanggung jawab negara.
Ada
pun prinsip progresivitas menjelaskan bahwa sebagai instrumen publik yang
memiliki karakteristik investasi di bidang modal sosial (social capital)
dan modal manusia yang produktif. Karena itu, sistem jaminan sosial harus
diselenggarakan secara berkelanjutan dan tidak boleh berhenti pada tingkat
manfaat dasar saja (basic benefit). Manfaat dasar merupakan langkah
awal yang menjadi fondasi pengembangan sistem jaminan sosial. Prinsip
progresivitas juga menekankan bahwa konsep universalitas tidak berarti
memberikan keseragaman manfaat kepada seluruh penduduk (uniformity).
Absennya
prinsip progresivitas berimplikasi pada tidak adanya proses monitoring kepada
para penduduk yang menerima bantuan langsung tunai (BLT) pada saat krisis
beberapa waktu yang lalu. Akibatnya, bantuan tersebut tidak membantu penduduk
menjadi mandiri dan berpindah ke cakupan manfaat yang lebih tinggi. Kita
harus mewaspadai munculnya perangkap kesejahteraan (welfare trap),
seperti sikap malas, manja, dan hanya bisa menuntut hak, yang akan diidap penduduk
suatu negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial, jika prinsip ini
tidak diterapkan secara konsekuen.
Kisruh
JKN sesungguhnya membutuhkan solusi yang lebih solid dan fundamental. Selain
memantapkan dimensi-dimensi universal coverage, seperti yang dikonstatasi
oleh WHO, JKN juga membutuhkan dukungan berupa pemenuhan prasyarat untuk
menuju implementasi universal coverage, seperti tersedianya infrastruktur
layanan kesehatan yang proporsional, administrasi pajak rapi, dan NIK
kependudukan.
Untuk
menyempurnakan ikhtiar mengurai kisruh JKN tersebut, Indonesia perlu segera
mengadopsi dua prinsip penting jaminan sosial lainnya, yaitu prinsip
universalitas dan prinsip progresivitas. Kedua prinsip ini perlu segera
diadopsi dengan merevisi UU No 40/2004 tentang SJSN, karena kedua prinsip
tersebut akan menjadi basis konstitusional untuk mengawal implementasi JKN
dalam jangka panjang. Pekerjaan rumah besar ini harus dituntaskan oleh semua
elemen bangsa, agar kisruh JKN bisa segera mereda. ●
|