Dalam sepuluh tahun terakhir asuransi syariah makin terus berkembang, meskipun tidak secara masif seperti lembaga keuangan konvensional lainnya. Namun eksistensinya di tengah masyarakat sangat jelas terasa, alhasil beberapa perusahaan asuransi konvensional pun kini turut mengeluarkan produk yang serupa. Hal ini membuktikan bahwa konsep asuransi syariah merupakan suatu produk keuangan yang dibutuhkan masyarakat di pasaran.
Salah satu faktor
yang menarik perhatian masyarakat mengenai asuransi syariah adalah konsep yang
ditawarkannya, karena masyarakat makin disadarkan mengenai unsur gharar, riba dan maysir yang
kerap terjadi dalam praktek asuransi konvensional. Hal inilah yang mendorong
orang akhirnya berpikir untuk menggunakan produk asuransi syariah.
Dalam istilah fikih
muamalah, gharar adalah suatu perkara yang kerap terjadi dalam
jual beli yang tidak jelas objeknya. Misalnya ada orang yang menjual burung
kepada anda, namun burung yang dijualnya adalah burung liar yang hinggap di
dahan pohon. Atau contoh lainnya, ada seseorang yang menjual ikan dalam ember
tertutup, kemudian ketika anda hendak membelinya, si penjual tidak menjelaskan
kepada anda mengenai jenis ikan dan jumlahnya. Maka dari sudut pandang
fikih, jual beli semacam itu batal karena dalam rukun jual beli, penjual harus
menguasai penuh akan barang tersebut dan di sisi lain tidak dibolehkan adanya
ketidakjelasan.
Kemudian mengenai riba, tampaknya
yang satu ini telah banyak disinggung oleh guru-guru agama atau oleh Lembaga
Keuangan Syariah (LKS). Dari sudut pandang ilmu fikih, riba adalah sesuatu yang
melebihi pokoknya, ini berbeda dengan konsep jual beli karena salah satu pihak
nantinya akan dirugikan dalam praktek riba itu. Adapun maysir, secara
bahasa adalah judi atau mengadu nasib, hal ini bersifat untung-untungan atau
lebih kepada spekulasi saja. Ini pun dilarang dalam Islam.
Menyadari akan hal
itu, akhirnya asuransi syariah menjadi objek produk keuangan yang makin
dilirik, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (KEIKNB) Firdaus
Djaelani, turut memberikan pandangan mengenai peluncuran road map Industri
Keuangan Non Bank (IKNB) khususnya dengan sistem syariah akan menentukan arah
pengembangan bisnis keuangan syariah ke depan, termasuk industri asuransi
syariah.
Dalam road
map tersebut akan disebutkan langkah-langkah yang harus diambil oleh
asuransi syariah untuk membesarkan literasinya yang masih kecil. Menurut
Firdaus Djaelani, setelah membentuk program-program yang akan dituangkan dalam road
map itu, OJK juga akan terus mengembangkan sosialisasinya pada
berbagai pihak. Selain itu OJK juga akan memperbanyak suplai penjualan
produk-produk asuransi syariah. Target yang diharapkan ke depannya adalah bukan
memindahkan nasabah asuransi konvensional ke syariah, tetapi targetnya adalah
asuransi syariah bisa lebih berkembang seperti asuransi konvensional.
Berdasarkan laporan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai dengan kuartal I 2014, Indonesia memiliki
48 perusahaan asuransi syariah, terdiri dari 20 asuransi jiwa, 25 asuransi umum
dan kerugian, dan 3 reasuransi. Untuk keseluruhan perusahaan, asetnya tercatat
sejumlah Rp 16,6 triliun, dengan rincian asuransi jiwa memiliki aset Rp 12,7
triliun, asuransi umum dan kerugian Rp 3,1 triliun dan reasuransi Rp 738
miliar.
Asosiasi Asuransi
Syariah Indonesia (AASI) menargetkan pertumbuhan asuransi syariah di tahun 2016
bisa mencapai angka 10 hingga 30 persen. Angka yang cukup besar ini merupakan
angka yang lebih besar dari pertumbuhan asuransi konvensional yang hanya 5
persen, sebagaimana yang dikemukakan oleh Firdaus Djaelani.
Menurut Firdaus
Djaelani, pertumbuhan asuransi syariah dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi
dibandingkan konvensional. Meski porsinya lebih kecil dari konvensional, namun
permintaan akan produk asuransi syariah termasuk banyak belakangan ini.
Konsep yang
Diterapkan Asuransi Syariah
Terjadinya
akselerasi peningkatan pada asuransi syariah, tidak terlepas dari kesadaran
masyarakat khususnya umat Islam yang kian hari kian meningkat. Kesadaran akan
bahaya yang ditimbulkan oleh gharar,riba, dan maysir berimplikasi
pada kemudharatan yang dampaknya langsung dapat dirasakan oleh satu pihak,
meskipun pihak lainnya merasa diuntungkan.
Hal ini senada
dengan apa yang dinyatakan oleh Gozali Sudirjo selaku Konsultan Asuransi
Syariah, PT. Asuransi Takaful Keluarga. “Alhamdulillah secara umum masyarakat
sudah mulai paham seputar lembaga keuangan berbasis syariah, diantaranya
asuransi syariah yaitu Takaful,“ ujarnya saat penulis mewawancarainya.
Gozali Sudirjo pun
menjelaskan, konsep yang ditawarkan asuransi syariah berbasis pada akad tijarah yang
digunakan yaitu akad mudharabah, pihak perusahaan asuransi
dalam hal ini Takaful berposisi sebagai mudharib (pengelola) dan
peserta bertindak sebagai shohibul mal (pemegang polis).
Manakala dilakukan klaim oleh pemegang polis maka konsep klaim itu adalah
sebagai berikut: Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal
perjanjian; Klaim dapat berbeda dalam jumlah sesuai dengan premi yang
dibayarkan; Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak
peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya; Kemudian klaim
atas akad tabarru’ (sumbangan/derma) merupakan hak peserta dan
merupakan kewajiban perusahaan sebatas yang disepakati dalam akad.
Muhammad Abdul
Manan, dalam bukunya, Islamic Economics Theory and Practice,
menyampaikan bahwa, Dewan Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Saudi
Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa
dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui
adanya “Asuransi Koperatif” yang tegak di atas prinsip ta’awun (saling
tolong menolong) seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful.
Barangkali anda
berpikir bahwa secara konsep dan istilah memang asuransi syariah berbeda dengan
konvensional, namun secara substansi tidak ada beda antara asuransi syariah dan
konvensional. Pandangan semacam ini, banyak menyebar di masyarakat jika logika
yang dipakai seperti itu, namun hakikatnya jelas berbeda antara asuransi
syariah dan konvensional, perbedaan paling mendasar terletak pada akad yang
dilakukan di awal.
Dalam asuransi
konvensional terjadi adanya gharar atau ketidakpastian
disebabkan karena ketidakjelasan landasan akad yang dibangun. Apakah tijarah (akad
jual beli) atau akad takafuli (tolong menolong dalam
pertanggungan) yang diterapkannya. Sebagai contoh, nasabah membayar asuransi
untuk 10 tahun, setiap tahunnya ia membayar Rp1,000,000,-. Kemudian pada tahun
keempat nasabah tersebut meninggal dunia, lantas pihak asuransi memberikan
premi sebanyak Rp10,000,000.- padahal secara matematis nasabah tersebut baru
membayar Rp4,000,000.- lantas dari manakah sisa Rp6,000,000,- yang diberikan
oleh pihak perusaahaan asuransi kepada nasabahnya itu. Boleh jadi kita beranggapan
pihak perusahaan memakai dana nasabah lain untuk si nasabah yang meninggal itu.
Maka di sinilah letak ketidakjelasan itu terjadi.
Kemudian bagaimana
praktek yang diterapkan asuransi syari’ah? Untuk menjawab ini, penulis akan
mengambil contoh salah satu praktek yang dijalankan oleh asuransi syariah
pertama di Indonesia yakni Asuransi Syariah Takaful, secara umum akad di
takaful ada 2, yaitu tijarah dan tabarru' hal
ini sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.21/dsn-mui/x/2001
tentang Pedoman Asuransi Syariah, secara umum dapat dikatakan sebagai akad takafuli atau
pertanggungan atas dasar tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka polis
sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru’ .
Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6 juta di atas bukanlah hal gharar tetapi
jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru’ (derma), hal
itu sudah dijelaskan di awal kepada para nasabahnya.
Mendermakan harta
atas dasar tolong menolong adalah bagian dari ibadah. Harta yang didermakan itu
pun tentunya menjadi bagian dari amal saleh yang tak luput dari perhitungan
Allah, jika didasari dengan keikhlasan. Namun menggunakan harta orang lain
tanpa sepengetahuannya adalah perkara yang batil meskipun tidak mengambilnya
secara langsung. Lantas masihkah kita berani menerima uang yang diambil dari
tabungan orang lain tanpa sepengetahuannya?
Sumber: http://www.gomuslim.co.id
Oleh: Nur Indah Hidayati
0 komentar: