Senin, 31 Oktober 2016

Peran Penting Pengawasan Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah


Berdirinya sebuah Lembaga Keuangan disebabkan oleh tuntutan masyarakat agar dapat menyimpan dananya dengan “aman”. Namun, perlu bukti nyata untuk mewujudkan kata “aman” tersebut. Mengapa demikian? Jika anda seorang pemilik dana, lalu menabung uangnya di sebuah Lembaga Keuangan, apa yang membuat anda “yakin” uang akan tersimpan dengan “aman”? Jawabannya sederhana, karena Lembaga tersebut menyimpan uang anda dengan “amanah”. Oleh karena itu untuk membuktikannya perlu adanya “pengawasan” agar Lembaga Keuangan menjalankan fungsi dan kewajiban sesuai dengan standar yang sudah di tetapkan. Inilah asal muasal munculnya istilah “Audit”.

 Audit  merupakan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak-pihak yang betul-betul independen. Proses pemeriksaan tersebut berfokus pada laporan keuangan beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukung lainnya. Tujuannya untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan. ( Sukrisno Agoes).
Namun, seiring berjalannya waktu, kata “aman” dirasa tidak cukup. Masyarakat menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syari’ah islam. Terutama yang berkaitan dengan pelarangan praktek riba, kegiatan maisir (spekulasi) dan gharar (ketidakjelasan). Akhirnya berdiri sebuah Lembaga yang dikenal sebagai Lembaga Keuangan Syari’ah (IFI).

Lembaga Keuangan Syariah (IFI) pertama di dirikan di Mesir dan dalam beberapa dekade menyebar hingga Timur Tengah, Timur Jauh (Far East), Eropa dan Amerika Serikat. Pada tahun 2009, jumlah IFI mencapai 458 di seluruh dunia. Dalam 3 (tiga) dekade terakhir,  berdiri beberapa organisasi internasional yang dibentuk atas mandat standarisasi dan harmonisasi praktek LKS (IFI), salah satunya adalah AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) tahun 2008 di Bahrain yang mempersiapkan akuntansi, audit, tata kelola, etika dan standar Syariah khusus untuk IFI dan industri terkait. Prinsip tata kelola untuk LKS (IFI) sendiri diwujudkan dalam transaksi sehari-hari ummat Islam yang menyatakan bahwa kekayaan ialah kepercayaan dan ujian bagi keimanan mereka dari Allah SWT (Saeed, 1996).

Lembaga Keuangan Islam berdiri di berbagai negara, namun mayoritas di Negara Muslim seperti GCC yang terdiri dari Negara Arab Timur Tengah, Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain.

Dalam prakteknya, proses pengawasan IFI berbeda dari pengawasan pada umumnya, dilakukan oleh seorang Auditor Syari’ah, di kenal sebagai Dewan Pengawas Syari’ah (jika di Indonesia), berfungsi untuk mengawasi dan membimbing setiap kegiatan Lembaga Keuangan Syariah (IFI) apakah sesuai dengan Shariah Compliant (Prinsip-Prinsip Syari’ah) atau tidak. Jika di Negara GCC, ada dua bentuk Dewan Pengawas Syariah, di Tingkat Makro bernama SSC (Shariah Supervisory Councils) yang berfungsi melakukan pengawasan di dalam dan luar Bank Sentral, sedangkan di Tingkat Mikro bernama SSB (Shariah Supervisory Boards) sebagai pengawas dan penasihat Lembaga Keuangan Syariah (IFI).

Peran LKS dalam melaksanakan tugas dan fungsinya perlu di atur baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan stakeholder terhadap aktivitas LKS, baik itu dari segi agama, sosial, ekonomi, hukum dan tata kelola.

Pertama, dari segi agama berasal dari skills DPS itu sendiri, idealnya DPS harus memiliki pengetahuan Ekonomi Modern dan Agama serta kemampuan independensi yang kuat. Karena sangat berpengaruh pada pengungkapan opini, jika opini DPS baik maka citra perusahaan akan sehat. Pengetahuan Agama dan Akuntansi juga digunakan untuk mendidik para pelaku ekonomi.

Kedua, keberadaan DPS (IFI) berpengaruh secara material terhadap lingkungan masyarakat, yakni kepercayaan stakeholder terhadap legitimasi transaksi. Selain itu DPS (IFI) memiliki posisi yang baik di mata masyarakat.

Ketiga, Ekonomi, ada beberapa kalangan berargumen bahwa profitabilitas sebuah LKS (IFI) tergantung dari pengawasan DPS itu sendiri, bila DPS sudah melakukan proses auditnya secara benar, lalu menyatakan dalam transaksi LKS (IFI) sudah sesuai dengan Shariah Complient itu akan berpengaruh terhadap tingkat laba perusahaan.

Keempat ialah kekuatan hukum. Di Negara GCC Bank Sentral membutuhkan Dewan Pengawas Syariah (SSB) si setiap Bank Syariah untuk dilisensikan sebagai Bank Islam, penegakkan ini merupakan tulang punggung dari otoritas SSB dan membuat fatwa merupakan kewajiban untuk menajemen eksekutif.

Dan yang terakhir ialah Tata Kelola, posisi Hirarkis Dewan Pengawas Syariah  biasanya di alokasikan di bawah pemegang sahan untuk menekankan keunggulan atas organ tata kelola dan mengkonfirmasi kewengannya dalam mengarahkan kegiatan LKS (Al Baali, 1991). Oleh karena itu syariat ulama menetapkan kebijakan internal termasuk tugas dan tanggung jawab serta hubungan dengan organ tata kelola di LKS (IFI).

Referensi utama :
Chris Pearce and Sammy Nathan Garas,  , (2010), "Sharia Supervision of Islamic Financial Institution", Journal of Financial Regulation and Comliance, Vol. 18. No.4
Referensi Tambahan
Ali Syukron.     , (2012), “Pengaturan Pengawasan pada Bank Syariah”. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 2, No. 1

Oleh: 
Hanifa Sabila, Mahasiswi STEI SEBI jurusan Akuntansi Syariah (semester VII). Penerima Beasiswa 50% STEI SEBI. Lahir di Jakarta, 10 Maret 1995.
Alamat Facebook : Hanifa Sabila
Twitter : @sabilipeh15
Instagram : @sabilifa7
Email : hanifasabila@gmail.com

Audit Syariah di Indonesia



Auditing  adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan criteria yang ditetapkan. Dalam bergagai bidang audit juga dilakukan pada laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Hasil audit lalu dibagikan. Ada beberapa tahapan audit yang dilakukan dalam pengauditan lembaga keuangan. Tahapan-tahapan ini tak lepas dari pengecekatan bukti audit yaitu kwitansi dan bukti-bukti keuangan lainnya. Untuk menyamakan antara laporan dengan bukti yang ada sama atau tidaknya. Dan apakah ada kekeliruan dalam mencatatan laporan keuangan yang disusun oleh akuntan internal suatu instansi.

Audit dalam islam mempunyai bentuk yang sama dalam proses audit laporan keuangnaya. Sama-sama mengaudit laporan keuangan dengan mengumpulkan butki-bukti audit yang sama. Yang membedakan audit syariah dengan audit umum adalah diaudit syariah memperhatikan prinsip yang ada dalam islam. Seperti jika akad yang digunakan akad ijarah maka prinsip syariah yang melakat pada akad ijarah harus diterapkan semana mestinya. Misalnya pada akad wadiah atau dalam istilah bank konvensional adalah deposito. Menurut Bank Indonesia dalam kamus keuangan dan perbankan Syariah wadiah secara umum adalah penempatan sesuatu di tempat yang bukan pemiliknya untuk dipelihara. Sementara menurut pendapat ahli fiqih untuk Madzah Hanafi mendefinisikan wadiah adalah “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”. Sementara konsep wadiah yang digunakan pada bank Syariah adalah wadiah yad ad-dhamanah yang berartikan titipan dengan resiko ganti rugi bukan tanggungan pribadi.

 Dan juga pembeda audit syariah dan audit konvensional adalah aspek syariah yang menjadi landasan utama pelaksanaan audit syariah yang tidak diakomodir di dalam audit  konvensional. Untuk itu pelaksana audit, auditor syariah membutuhkan dua kualifikasi, yaitu keuangan ataupun perbankan dan syariah. Bidang syariah yaang dimaksud disini adalah utamanya mengenai fiqih muamalah. Lebih baik lagi jika menguasi ilmu akuntansi ataupun auditing syariah karena lebih komprehensif bagi seorang auditor syariah, sebab baik aspek syariah maupun aspek keuangan dipelajari keduanya. Sehingga auditor dapat langsung menguasai keduanya kualifikasi tersebut. Jika kedua kualifikasi tersebut dapat dipenuhi maka proses proses audit syariah dapat terlaksana dengan tebat guna dan sesuai prinsip syaiah.

            Sedangkan audit syariah di Indonesia baru mencakup dua hal yaitu, pemeriksaan audit pada laporan keuangan (termasuk Islamic Social Report dan CSR) dilakukan oleh auditor internal maupun eksternal dan pemeriksaan kepatuhan syariah produk LKS yang dilakukan oleh DPS. Diluar kedua aspek tersebut belum jelas apakah sudah dicakup dalam pemeriksaan DPS atau belum. Mengingat DPS belum memiliki pedoman pemeriksaan yang jelas, sehingga bisa saja DPS yang satu telahmelakukan pemeriksaan di luar aspek kepatuhan syariah produk LKS sedangkan yang lain belum.

Oleh:
M. Zaid Al Mujiddi, mahasiswa semester VII jurusan akuntansi syariah di STEI SEBI Depok.

Selasa, 04 Oktober 2016

Pengawasan Syariah Menurut Kami (Part 2)

 


Sedang mencari informasi tentang Pengawasan Syariah? :)
Yuk disimak penjelasan pengawasan syariah dibawah ini menurut Kami.
Jangan lupa dibaca Part 1 ya :)
Semoga bermanfaat.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Anwar Ismail :
Pengawasan syariah dibutuhkan ketika sudah ada lembaga keuangan Islam beroprasi, adanya pengawasan ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan LKI terhadap peraturan syariah dan bentuk dari pengawasan syariah ini ada 3 model, yaitu: DPS, Konsultan Syariah dan Penasihat Syariah, namun di Indonesia hanya ada DPS (Dewan Pengawas Syariah).

Agung Setiabudi :
Pengawasan syariah pada Lembaga Keuangan Syariah memiliki tujuan dan fungsi didalamnya. Tujuannya yaitu untuk memastikan bahwa semua kegiatan Lembaga Keuangan Syariah sesuai dengan aturan syariat Islam dan prinsip. Adapun fungsinya yaitu sebagai fungsi pengawasan dan fungsi konsultasi. 

Muhammad Afrizal Rizky :
Pengawasan syariah adalah upaya untuk menjadikan dan membuktikan bahwa segala sesuatu yang dilakukan sudah sesuai dengan tuntunan al-Quran dan Hadits. Dalam konteks perbankan dan kelembagaan, pengawasan syariah dilakukan oleh DPS, untuk memberikan opini bahwa entitas syariah sudah sesuai dengan syariah atau belum.

M. Zaid Al Mujiddi :
Pengawasan syariah adalah dimana seseorang merasa diawasi oleh Allah hingga tidak ada kecurangan di sebuah institusi. Jika pengawasan tersebut tercermin dalam kepribadian semua karyawan maka tidak akan ada korupsi dan pelanggaran lainnya dalam suatu institusi.

Riski Saputra :
Pengawasan syariah sangat dibutuhkan dalam sebuah industri LKS. DPS mengambil peran sebagai pengawas syariah dalam setiap LKS yang ada. Untuk menjadi seorang DPS, kita harusnya tidak hanya memiliki keahlian dalam bidang syariah saja melainkan bidang akuntansi  juga diperlukan.

Ahmad Dahlan :
Pengawasan syariah merupakan bentuk pemastian bahwa aktivitas-aktivitas yang telah dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan syariah. Dalam konteks Lembaga Keuangan Syariah sebagai perwujudan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem keuangan, peran ini dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah. DPS bertugas untuk memastikan nilai-nilai syariah dipatuhi oleh setiap Lembaga Keuangan Syariah.

Azzam Mu'tashim Billah :
Pengawasan syariah memiliki tujuan untuk memberikan pengawasan, pengecekan terhadap apa-apa yang ada di entitas syariah apakah sudah sesuai dengan apa yang distandarkan, baik itu Fatwa DSN, PSAK Syariah yang berlaku agar kedepannya bisa memenuhi  sharia compliance.

Arif Aulia Rahman :
Pengawasan syariah adalah sebuah pedoman dimana berisi terkait tentang pengawasan, prosedural pelaksanaan sebuah kinerja baik berupa sebuah kinerja suatu entitas ataupun non entitas, dimana tujuannya agar kinerja tersebut sesuai dengan koridor syariah (muamalah).

Dafin Muhammad Kasyfillah :
Pengawasan syariah adalah suatu proses menilai, meninjau, dan memperbaiki suatu sistem baik itu yang diterapkan pada individu atau lembaga yang membuat sesuai dengan jalur/syariat.

Faiz Fahmi :
-

Thio Harbinadly Afflanda :
-


Pict by: http://www.dakwatuna.com/2015/11/27/77204/77204/#axzz4Ld6m2ISq