Sebagai warga Kota Bogor yang sering mengalami hujan tiba-tiba, saya jadi terbiasa (awalnya terpaksa) membawa payung ke mana-mana. Bahkan di hari cerah sekalipun. Rasanya ada yang belum lengkap dibawa jika payung belum dimasukkan ke dalam tas.
Asuransi
mirip dengan payung. Sangat bermanfaat saat hujan lebat. Tapi tetap saja masih
banyak orang malas membawa payung atau jas hujan saat pergi keluar rumah.
Bukankah dari dulu sudah ada pepatah bijak yang berbunyi: “Sedia payung sebelum
hujan.”
Jikalau
begitu, lalu kenapa masih banyak anggota masyarakat yang berat berasuransi?
Padahal sejatinya asuransi adalah perlindungan diri. Aneh rasanya jika
seseorang tidak bersedia menjaga keselamatan dirinya sendiri.
Warga
Negara Indonesia mayoritas muslim, tetapi masih belum tertarik atau bahkan
belum tahu dengan asuransi syari’ah.
Adapula yang masih ragu tentang kesyari’ahannya asuransi syariah atau
beranggapan asuransi syari’ah sama saja dengan asuransi kovensional, hanya nama
saja yang dirubah tetapi sistem asuransinya sama dengan konvensional.
Disini
saya akan sedikit menghilangkan keragu- raguan terkait asuransi syari’ah dari
segi hukum asuransi syari’ah dalam perspektif Islam. Semoga dapat menghilangkan
keraguan anda dan segera mendaftarkan diri sebagai peserta asuransi syari’ah.
Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah disebut juga dengan
asuransi ta’awun yang artinya tolong-menolong atau saling
membantu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat
yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam
meringankan bencana yang dialami peserta.
Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وتعاونوا على البر والتقوى
ولاتعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله
إن الله شد يد العقاب
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2.
Para ahli hukum Islam kontemporer
menyadari sepenuhnya, bahwa status hukum asuransi syariah belum pernah
ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam dahulu (fuqaha). Pemikiran asuransi
syariah seperti berlaku sekarang ini, merupakan hasil pergumulan antara
pemahaman hukum syariat dengan realitas yang terjadi.
Namun
apabila di cermati melalui
kajian secara mendalam, maka ditemukan bahwa pada asuransi terdapat maslahat
sehingga para ahli hukum Islam (kontemporer) mengadopsi manajemen asuransi
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam konteks ini asuransi dibolehkan walaupun ada perbedaan pendapat
timbul dalam sebagian cara merealisasikan prinsip tersebut.
Beberapa
pendapat para ulama mengenai hukum asuransi ditinjau dari fiqh Islam yang
paling mengemuka, perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.
Pendapat pertama: Mengharamkan
“Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya,
termasuk asuransi jiwa”. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid sabiq, Abdullah
al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad bakhil al-muth’i (mufti
Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.
Asuransi sama
dengan judi;
b.
Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c.
Asuransi mengandung unsur–unsur
riba/renten;
d.
Asuransi mengandung unsur-unsur
pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran
preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.
e.
Premi-premi yang
sudah dibayar akan diputus dalam praktik-praktik riba.
f.
Asuransi termasuk
jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
g.
Hidup dan mati
manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh
pendapat yang pertama ini yang mengharamkan asuransi, penulis setuju atas dasar
asuransi seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dimana praktiknya hanya
menguntungkan satu belah pihak saja atau bersifat untung-untungan yang kita
tahu tidak dibenarkan dalam Islam.
2. Pendapat kedua : Membolehkan
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd.
Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar hukum Islam pada Fakultas
Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar hukum Islam pada
Universitas Kairo Mesir, dan Abd. Rahman Isa pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa
Ahkamuha. Mereka
beralasan:
a.
Tidak ada Nash
(Al-Quran dan Sunnah) yang melarang asuransi
b.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
c.
Saling
menguntungkan kedua belah pihak
d.
Asuransi dapat
menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat
diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan
e.
Asuransi termasuk
akad, madharabah (bagi hasil)
f.
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah)
g.
Asuransi dianalogikan (Qiyaskan) dengan sistem
persiun seperti taspen”
Untuk pendapat kedua ini penulis cenderung
lebih membenarkan hal demikian, karena apabila
dicermati lebih lanjut asuransi seperti ini tidak bertentangan dengan
nilai-nilai agama, dimana tidak merugikan satu sama lain. Hal ini dapat
membangun perekonomian ummat, seperti yang dijalankan di asuransi syari’ah pada
umumnya.
3. Pendapatan ketiga : Asuransi Sosial Boleh
dan Komersial Haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain
oleh Muhammad Abzu Zahra (guru besar hukum Islam pada Universitas Kairo).
Alasan kelompok-kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi
yang bersifat komersial (Haram) dan sama pula dengan alas an kelompok kedua,
dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh)”
Walaupun sebagian kalangan Islam
beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang Qadha dan Qadar atau
bertentangan dengan takdir. Padahal sesungguhnya tidak demikian, karena pada
dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian merupakan
takdir Allah yang tidak dapat di tolak. Hanya saja sebagai manusia diperintahkan
membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Seperti firman Allah dalam
Surat Al-Hasyr, ayat 18 :
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله ولتنظرنفس ماقد مت لغد
واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS. AL-Hasyr:18).
Jelas sekali dalam
ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk
masa depan. Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara
mengelola kehidupannya agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun
salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal untuk kepentingan dimasa akan
datang agar segala sesuatu yang benilai negatif, baik dalam bentuk musibah
kecelakaan, kebakaran ataupun kematian. Dapat di minimalisir kerugiannya,
karena kemampuan manusia hanya sebatas memprediksi dan merencanakan sesuatu
yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang di rasa akan
memberikan kerugian dimasa akan datang, sedangkan Allah menentukannya.
Hal serupa
terhadap konsep asuransi juga telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas
dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan
oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa
selama tujuh tahun Negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan kemudian
diikuti masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya.
Untuk berjaga-jaga
terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Mesir mengikuti saran Nabi Yusuf
dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada tujuh tahun pertama sebagai
cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa tujuh
tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko bencana kelaparan.
Hasan
Ali menyebutkan kaitan hal ini dengan Firman Allah SWT dalam Qs. Yusuf, ayat : 46 – 49
يوسف أيها الصديق أفتنافى سبع بقرات سمان
يأكلهن سبع عجاف وسبع سنبلت خضروأخريا بست لعلى أرجع ألى الناس لعلهم يعلمون ﴿٤٦﴾ قال تزرعون سبع
سنين دأبا فما حصدتم فذروه فى سنبله إلا قليلا مما تأكلون ﴿٤٧﴾ ثم يأتى من بعد
ذالك سبع شداد يأكلن ما قدمتم لهن إلا قليلا مما تحصنون ﴿٤٨﴾ ثم يأتى من بعد ذالك
عام فيه يغاث الناس وفيه يعصرون ﴿٤۹﴾
Artinya
: “Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru: “Yusuf, hai orang
yang amat dipercaya, teranglah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk yang dimakan oleh sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir
(gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada
orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”. Yusuf berkata: “Supaya kamu
bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai
hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian
setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang
kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit
gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang yang padanya manusia
diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”. (Qs. Yusuf
:46 – 49).
Ayat
ini juga memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini (modern) yang
secara ekonomi dituntut agar mengadakan persiapan secara matang untuk
menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang.
Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT menunjukkan dalil dan bukti yang nyata
kepada manusia bahwa praktik asuransi atau bisnis pertanggungan telah
berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia.
Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan Al-Qur’an
atau Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Begitu
dalam sumber hukum Islam yang kedua yaitu Al-hadist, ada juga menerangkan
tentang anjuran untuk menghindari resiko, salah satunya adalah :
عن أنس بن مالك رضى الله عنهما قال : قال
رجل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أعقلها أوأتو كل؟ قال : أعقلها وتوكل (رواه التر مذى)
Dr. Anas bin Malik
ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW, tentang (untanya) : “Apa (unta)
ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada Alla SWT?”. Bersabda Rasululla SAW: “Pertama ikatlah
unta itu kemudian bertawakal kepada Allah SWT.” (HR. At-tarmudzi)”.
Dalam
Hadits ini pun Rasulullah SAW memberi tuntunan pada manusia agar selalu
bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah yang akan terjadi, bukannya
langsung menyerahkan segala kepada Allah, tetapi harus ada usaha untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam
perspektif Al-Qur’an kebutuhan manusia ditentukan oleh konsep maslahah,
dimana konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku
konsumen dari kerangka tujuan syariah Islam yaitu: Tercapainya kesejahteraan
umat manusia. Begitu pula halnya
barang dan jasa Asuransi syariah yang memberikan maslahah disebut kebutuhan
manusia.
Menurut
khallaf, bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah terwujudnya
kemaslahatan umum dalam kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari
bahaya. Kemaslahatan
manusia dalam kehidupan ini terdiri atas beberapa hal yang bersifat kebutuhan
pokok (dharuriyyah), kebutuhan (hajiyyah), dan penyempurna (Tahsiniyah).
Dalam hal ini
keberadaan Asuransi Syariah dapat dikatakan sebagai kebutuhan hajiyyah.
Kebutuhan hajiyyah yaitu suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk
membuat ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan
kehidupan.
Sumber:
By: Fadilah Arhan
0 komentar: