Berdirinya sebuah Lembaga Keuangan disebabkan oleh tuntutan
masyarakat agar dapat menyimpan dananya dengan “aman”. Namun, perlu bukti nyata
untuk mewujudkan kata “aman” tersebut. Mengapa demikian? Jika anda seorang
pemilik dana, lalu menabung uangnya di sebuah Lembaga Keuangan, apa yang
membuat anda “yakin” uang akan tersimpan dengan “aman”? Jawabannya sederhana,
karena Lembaga tersebut menyimpan uang anda dengan “amanah”. Oleh karena itu untuk
membuktikannya perlu adanya “pengawasan” agar Lembaga Keuangan menjalankan
fungsi dan kewajiban sesuai dengan standar yang sudah di tetapkan. Inilah asal
muasal munculnya istilah “Audit”.
Audit merupakan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan
secara kritis dan sistematis oleh pihak-pihak yang betul-betul independen.
Proses pemeriksaan tersebut berfokus pada laporan keuangan beserta
catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukung lainnya. Tujuannya untuk
memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan. ( Sukrisno Agoes).
Namun, seiring berjalannya waktu, kata “aman” dirasa tidak
cukup. Masyarakat menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang
dilaksanakan sejalan dengan nilai moral
dan prinsip-prinsip syari’ah islam. Terutama yang berkaitan dengan
pelarangan praktek riba, kegiatan maisir (spekulasi) dan gharar (ketidakjelasan). Akhirnya
berdiri sebuah Lembaga yang dikenal sebagai Lembaga Keuangan Syari’ah (IFI).
Lembaga Keuangan Syariah (IFI) pertama di dirikan di Mesir
dan dalam beberapa dekade menyebar hingga Timur Tengah, Timur Jauh (Far East), Eropa dan Amerika Serikat.
Pada tahun 2009, jumlah IFI mencapai 458 di seluruh dunia. Dalam 3 (tiga)
dekade terakhir, berdiri beberapa
organisasi internasional yang dibentuk atas mandat standarisasi dan harmonisasi
praktek LKS (IFI), salah satunya adalah AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions) tahun 2008 di Bahrain yang mempersiapkan akuntansi, audit,
tata kelola, etika dan standar Syariah khusus untuk IFI dan industri terkait.
Prinsip tata kelola untuk LKS (IFI) sendiri diwujudkan dalam transaksi
sehari-hari ummat Islam yang menyatakan bahwa kekayaan ialah kepercayaan dan
ujian bagi keimanan mereka dari Allah SWT (Saeed, 1996).
Lembaga Keuangan Islam berdiri di berbagai negara, namun
mayoritas di Negara Muslim seperti GCC yang terdiri dari Negara Arab Timur
Tengah, Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain.
Dalam prakteknya, proses pengawasan IFI berbeda dari
pengawasan pada umumnya, dilakukan oleh seorang Auditor Syari’ah, di kenal
sebagai Dewan Pengawas Syari’ah (jika di Indonesia), berfungsi untuk mengawasi
dan membimbing setiap kegiatan Lembaga Keuangan Syariah (IFI) apakah sesuai
dengan Shariah Compliant
(Prinsip-Prinsip Syari’ah) atau tidak. Jika di Negara GCC, ada dua bentuk Dewan
Pengawas Syariah, di Tingkat Makro bernama SSC (Shariah Supervisory Councils) yang berfungsi melakukan pengawasan
di dalam dan luar Bank Sentral, sedangkan di Tingkat Mikro bernama SSB (Shariah Supervisory Boards) sebagai
pengawas dan penasihat Lembaga Keuangan Syariah (IFI).
Peran LKS dalam melaksanakan tugas dan fungsinya perlu di
atur baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan stakeholder terhadap aktivitas LKS, baik
itu dari segi agama, sosial, ekonomi, hukum dan tata kelola.
Pertama, dari segi agama berasal dari skills DPS itu sendiri, idealnya DPS harus memiliki pengetahuan
Ekonomi Modern dan Agama serta kemampuan independensi yang kuat. Karena sangat
berpengaruh pada pengungkapan opini, jika opini DPS baik maka citra perusahaan akan
sehat. Pengetahuan Agama dan Akuntansi juga digunakan untuk mendidik para pelaku
ekonomi.
Kedua, keberadaan DPS (IFI) berpengaruh secara material
terhadap lingkungan masyarakat, yakni kepercayaan stakeholder terhadap legitimasi transaksi. Selain itu DPS (IFI)
memiliki posisi yang baik di mata masyarakat.
Ketiga, Ekonomi, ada beberapa kalangan berargumen bahwa
profitabilitas sebuah LKS (IFI) tergantung dari pengawasan DPS itu sendiri, bila
DPS sudah melakukan proses auditnya secara benar, lalu menyatakan dalam
transaksi LKS (IFI) sudah sesuai dengan Shariah
Complient itu akan berpengaruh terhadap tingkat laba perusahaan.
Keempat ialah kekuatan hukum. Di Negara GCC Bank Sentral
membutuhkan Dewan Pengawas Syariah (SSB) si setiap Bank Syariah untuk
dilisensikan sebagai Bank Islam, penegakkan ini merupakan tulang punggung dari
otoritas SSB dan membuat fatwa merupakan kewajiban untuk menajemen eksekutif.
Dan yang terakhir ialah Tata Kelola, posisi Hirarkis Dewan
Pengawas Syariah biasanya di alokasikan
di bawah pemegang sahan untuk menekankan keunggulan atas organ tata kelola dan
mengkonfirmasi kewengannya dalam mengarahkan kegiatan LKS (Al Baali, 1991).
Oleh karena itu syariat ulama menetapkan kebijakan internal termasuk tugas dan
tanggung jawab serta hubungan dengan organ tata kelola di LKS (IFI).
Referensi utama :
Chris Pearce and Sammy Nathan Garas, , (2010), "Sharia Supervision of Islamic Financial
Institution", Journal of Financial
Regulation and Comliance, Vol. 18.
No.4
Referensi Tambahan
Ali Syukron. , (2012),
“Pengaturan Pengawasan pada Bank Syariah”. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.
2, No. 1
Oleh:
Hanifa Sabila, Mahasiswi STEI SEBI
jurusan Akuntansi Syariah (semester VII). Penerima Beasiswa 50% STEI SEBI. Lahir
di Jakarta, 10 Maret 1995.
Twitter : @sabilipeh15
Instagram : @sabilifa7
Email : hanifasabila@gmail.com
0 komentar: